Rabu, 01 Januari 2014

LIMAPULUH LIMA YANG BIKIN GREGETT! [Ma'ahid dalam Bingkai Cerita]

Sembari menyanyikan ‘Senandung Ukhuwah’ milik Sigma dan membuka-buka binder berisi foto, aku mendadak diserang mellow akut. Sampai pengen nangis, haduuh.... T.T

Di situ terpampang foto-foto berwajah unyu ala masa-masa SMA. Lalu entah kenapa, perasaan mellow ini menuntunku untuk bergerak mendekati lemari. Membongkar kembali setumpuk buku yang tertata rapi di rak terbawah. Mencari sesuatu, tapi sayangnya nggak ketemu. Lalu, aku cari lagi di bagian atas lemari. Yes, dapat! Ada sebuah buku dengan sampul bergambar kucing imut-imut.

Detik berikutnya serasa bertualang dengan mesin waktu ; segalanya ter-flash back pada masa-masa Aliyahku dulu. Selalu begitu. Buku tulis bersampul kucing ini serasa ingin membawaku kembali berkelana. Seakan-akan aku kembali menginjakkan kaki di tanah Ma’ahid.

Sayangnya, ‘pengembaraan’ alam bawah sadarku ini hanya dimulai dari ketika aku telah duduk di ujung bangku Aliyah ; sudah kelas 12. Bentar lagi ujian. Bentar lagi kelulusan. Yahh... sudahlah. Walau yang tertulis cuma masa-masa selama satu tahun, toh kenangannya tetap aja bejibun.

Saat dimana aku ‘bertualang dengan mesin waktu’, dimulai pada suatu hari yang cerah di bulan Januari....
____________________



Kamis, 3 Januari 2013
Awalnya, aku sama sekali nggak nyangka, kalau hari itu bisa menjadi awal semangat baru buatku.

Gedung Madrasah Aliyah Ma’ahid Kudus.
Bel sudah berbunyi sejak sepuluh menit lalu. Mapel pertama adalah Sosiologi. Guru yang kami tunggu-tunggu belum juga datang. Rupanya sedang ada keperluan.

“Ada tugas dari Bu Asmini,” seru salah seorang teman yang kemudian menuliskan sesuatu di papan tulis dengan huruf besar-besar. ‘LKS SOSIOLOGI, UJI KOMPETENSI 1 & 2 DIKERJAKAN’.
Komando kawanku itu langsung memancing reaksi yang sama. Tak lama, bunyi bret-bret kertas yang dilepaskan dari rekatan staples di bagian tengah buku tulis mulai terdengar. Lalu, pena-pena menggores gemulai. Kadang diselingi pula dengan obrolan iseng dan tawa-tawa renyah.

Tahu-tahu Shoffi nyeletuk, “Eh, pada bawa buku latihan UN Bahasa Indonesia, nggak?” sambil tangannya mengacungkan sebuah buku bersampul hijau.
Aku kaget, “Lho, emangnya disuruh bawa?”
“Lha iya... kan materi LKS-nya udah habis, masa’ mau dibahas lagi?"

Waduh! Perasaanku mulai nggak enak, nih. Kok bisa-bisanya sih, aku nggak tahu? Aku bongkar-bongkar isi tasku, mendapati bahwa buku yang kuharapkan ada, nyatanya nihil. Aaaa... tidaaak...! Selamatkan akuu...!!

Aku panik. Pikirku, materi LKS Bahasa Indonesia masih akan dibahas hari ini. Lagipula kata guru-guru, les untuk latihan UN kan baru akan dimulai hari Sabtu. Jadi, pikiran untuk membawa buku Latihan UN sama sekali tidak terbersit dalam benakku, apalagi hati dan sanubariku.

Rizza yang sebangku sama aku juga kelihatannya menunjukkan ekspresi yang sama ; kaget, bingung, campur-aduk. Dari situ, baru deh ketahuan. Yang nggak bawa buku latihan UN ternyata lumayan banyak boo’!
“Eh, pinjem aja yuk, ke kelas IPS2....”
“Yuk yuk...."

Suara-suara ajakan mulai terdengar. Aku pun memutuskan untuk mengambil inisiatif serupa. Aku nitip pesan sama temenku, kalau mau pinjam, sekalian ya, aku dipinjami? (Hihi, ra modal!)  Untung tugas Sosiologi sudah dikerjakan.

Duh, sayangnya, gara-gara nggak mau usaha sendiri, aku jadi nggak dapat pinjaman... hu hu. Teman-temanku udah pada dapat bukunya. Aku sama Rizza masih harap-harap cemas.

“Udah udah, ayo kita pinjam sendiri aja,” putus Rizza sambil bergegas keluar kelas. Nggak lama berselang, dia udah dapat aja tuh buku. Kebetulan waktu itu ada salah satu siswa IPS2 yang berpapasan sama kita di luar kelas, dan pas kebetulan banget, dia lagi bawa buku yang kita maksud. Tapi aku....

”Lha trus aku gimana?” aku jadi tambah bingung. Kalau aku belum dapat pinjaman, Rizza nggak akan tega ninggalin aku (aih, plen polepel dah!).
“Eh Za, tolongin aku dong... minta dipinjamin sama Riza...” aku mulai memelas. Riza, kalau zet-nya nggak dobel, berarti siswa kelas IPS2 yang dulunya jadi ketua OSIS.
“Ya udah, ayo tak anter,” sahut Rizza.
“Tapi kamu yang ngomong....” pintaku penuh harap. Soalnya, aku agak kurang pede. Rizza mengangguk setuju.

Aku dan Rizza baru akan mengambil keputusan ketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang kompak-serempak dari kelas IPS2. Entah karena apa. Ada yang barusan bikin lelucon, mungkin. Yang jelas, aku dan Rizza mendadak ciut nyali karenanya.
“Haduuh... gimana niih...?”

Sebenarnya kita sama-sama malu. Rasanya agak aneh, mengingat bahwa hampir selama enam tahun, aku nggak pernah sekelas sama ikhwan. Isi kelasku perempuan semua. Wah, kepiye iki, Za...??

“Ayo, ayo! Bisa!!” aku malah menyemangati Rizza.

Awalnya, mimik mukanya serius sekali. Tapi nggak lama berubah lagi. “Takut....”
Aku jadi ketawa. Riza ikut ketawa. Tawa yang nanggung. Habis, sambil ditahan-tahan gitu. Lha ngguyu kok diempet. Nggak asik banget.
“Jelek kamu ketawa begitu,” katanya.
Lha kamu pikir ketawamu bagus?
“Ayo tah ayo....” antara nahan ketawa dan nggak sabaran, aku terus memelas. Tapi berulang kali juga kami gagal meyakinkan diri dan berujung pada tawa yang berderai.

Akhirnya, mungkin karena kasihan dan nggak tahan melihat muka melasku, Rizza pun membulatkan tekad.
“Udah, ayok!”

Dengan mantap dia melangkah ke kelas XII IPS2. Meminta izin pada Pak Nurdin –yang ketika itu mengajar Geografi di depan kelas—untuk bertemu dengan Riza. Begitu ketemu Riza, Rizza menyampaikan maksudnya, Riza manggut-manggut, Riza masuk ke kelas sebentar ngambil buku, trus dikasihin deh tuh, bukunya ke Rizza (halah halah...!). Rizza bilang makasih, ngucapin salam, dan akhirnya kita kembali lagi ke kelas XII IPS1. Sudaaah......!!

“Alhamdulillah... makasih, Za....!” aku tersenyum lega. Baru mengerti alasan kenapa aku sempet nggak dapat pinjaman tadi. Barangkali teman-temanku juga terjangkit syndrom nerves kayak aku. Lha masa’ iya mereka disuruh pinjam banyak buku sekaligus? Kalau aku yang digituin mah ogah.

Aku kembali ke kelas dengan perasaan senang. Berulang kali aku bilang makasih ke Rizza. Lega rasanya!
____________________

Jam pelajaran Sosiologi hampir usai. Sebentar lagi jamnya Bahasa Indonesia.
Aku sedikit was-was.
“Za, apa sebaiknya kita jujur aja ya?” aku bimbang. Kalau dipikir-pikir, jujur atau enggak-nya kami, toh nantinya pasti ketahuan juga.

Kronologinya begini (cieh, kronologi!) : Mapel Basdon akan berlangsung dari setelah jam Sosiologi selesai, sampai jam istirahat pertama. Usai istirahat pertama, akan ada mapel Ulumul Qur’an. Setelah Ulumul Qur’an, ada lagi Bahasa Indonesia dari jam 11.10 WIB sampai 11.45 WIB. Habis itu istirahat, habis istirahat ada Bahasa Indonesia lagi. Huft... banyak ya, pemirsa?

Nah, dengan sistem yang semacam itu, mungkin kita bisa saja ‘selamat’ di jam Basdon pertama. Tapi di jam Basdon kedua? No way! Kita nggak mungkin terus-terusan minjem buku itu sepanjang hari. Kelas IPS2 jelas membutuhkannya juga. Kecuali kalau kita mau sedikit berakting amnesia biar bukunya bisa kita tahan di laci meja seharian.
“Yaa... liat-liat entar deh. Kalau emang harus jujur, ya kita jujur aja.”
Kata-kata Rizza bikin aku mantep. Okelah.
____________________
Jam pelajaran Bahasa Indonesia tiba juga.
Bu Indri –guru Bahasa Indonesia kami-- masuk ke ruang kelas, duduk di kursi guru menghadap murid-muridnya. Seperti biasa, beliau mengawalinya dengan salam yang segera kami sambut dengan salam pula. Bu Indri mulai memberi petuah. Seperti seharusnya, tema yang dibahas adalah tentang Ujian Nasional.

Wah, kacau nih. Aku nggak bisa fokus. Gimana doong...??

“Sudah, yuk, kita mulai pelajarannya. Siapa yang tidak membawa buku latihan UN?”

Duh, Maaakk.....!!
Aku menatap Rizza, Rizza balas menatapku. Aku berbisik pelan, “Gimana?”
Rizza mengangguk, “Jujur aja!”

Aku sekilas melirik Bu Indri... waduh, beliau melihat ke arahku. Aku lantas pura-pura mengalihkan pandangan ke teman-teman, terutama yang sama-sama tidak membawa buku. Nggak bisa didefinisikan gimana bentuk muka mereka. Ada yang sempat melirikku. Mungkin sebenarnya pikiran mereka pun sedang berkecamuk, sama sepertiku. Wah, benar-benar nih, kejujuran generasi penerus masa depan sedang diuji di sini.

Rizza menatapku. Aku mengangguk pelan.
Kami sama-sama berdiri.
Bu Indri menatap kami, “Sini, Mbak, maju ke depan.”
Aku dan Rizza maju ke depan. ‘Ajaibnya’, aku sama sekali tidak takut. Dari sinar mata Bu Indri, beliau pun sama sekali tidak menampakkan raut kemarahan. Fiuhh... berasa ada setetes embun yang jatuh di hatiku....

Dan, mulailah interogasi berlangsung. Kenapa nggak bawa buku? Lupa. Nggak tahu kalau disuruh bawa buku Latihan UN. Kenapa bisa lupa? Malah bawanya LKS. Bukannya materi LKS sudah habis? Mana mungkin diajarkan lagi? Dan seterusnya... dan seterusnya....

Masyaallah... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya aneh. Bukan aneh karena takut, tapi aneh karena justru aku—mungkin juga Rizza— merasa tentram sekali. Aku bisa lihat, dari sikapnya, Rizza seperti siap menerima apapun resikonya. Baiklah, aku pun siap.

“Ya sudah, Mbak, kalau begitu, kalian ke ruang BK sekarang. Buat surat keterangan ya?”
Aku dan Rizza mengangguk, “Iya, Bu.”
Lalu, tanpa disangka-sangka....
“Saya juga, Bu.” Mbak Anas tahu-tahu berdiri dari duduknya. Dan tanpa disangka-sangka, yang lain pun juga ikut berdiri!

Kami sempat terdiam beberapa saat. Krik... krik... krik... Ruangan senyap.

Subhanallah...kenapa jadi mirip adegan film begini?
Bu Indri menghela napas pelan, “Sini Mbak, berdiri!”
Teman-teman yang telah berdiri dari duduknya, ikut maju ke depan.
Allohu Akbar... ada sesuatu yang terasa ‘cess...’ di hati aku.
“Ya sudah, kalian semua, buat surat keterangan di BK.”
“Ya, Bu!” koor kami –kala itu berduabelas.

Kami keluar dari ruang kelas. Sesampainya di luar, Rizza berbisik padaku, “Qon, tahu nggak? Hari ini aku merasa udah jadi hero.
Dalam hati aku mengiyakan. Aku pun sama, Za. Kita semua sama. Kita pahlawan untuk diri kita. Kita pahlawan untuk ego yang berhasil kita taklukkan!
____________________
         
Singkat cerita, kita berada di ruang BK menghadap Bu Ina. Satu persatu dari kami diminta untuk mengisi buku yang diberikan oleh beliau. Isi bukunya ‘keren’, daftar kenakalan siswa semua. Yaa Robbanaa...!
“Kamu juga, Qon?”
Aku nyengir malu, “Hhe... iya, Bu.”

Tahukah pemirsa, apa yang terjadi kemudian? Di kolom ‘Poin’, nggak tanggung-tanggung, beliau menulis angka 55!!!
“HAA?? Poinnya 55??!” seru teman-temanku tertahan.
“Lho iyaa... kan menyepelekan tugas dari guru,” terang Bu Ina innocent.
Subhanallah... dosa apa kita, sampai dapat poin segini banyak?? Padahal, kan kita cuma nggak bawa satu buku??
Kami lemas seketika.

“Buat surat pernyataan, contohnya seperti yang dibuat di kelas XII IPA. Izin dulu ke Bu Indri,” kata Bu Ina. (Sebelum masuk ke ruang kelasku, Bu Indri memang mengajar di kelas XII IPA. Rupanya, ada beberapa siswa di sana yang nasibnya sedang ‘kurang beruntung’, sama seperti kami. Hu hu....)

Aku dan Rizza pamit balik ke kelas, minta izin dulu ke Bu Indri. Bu Indri mengizinkan kami mengurus surat pernyataan itu. Tapi ada tambahan lagi, nih.

“Tanya ke Bu Ina, boleh nggak, kalau kalian minta izin dulu untuk pulang ke rumah, ngambil buku kalian yang ketinggalan.”

Kita berdua mengangguk lagi. Habis itu, kita pergi ke kelas IPA, pinjam surat pernyataan dari salah satu siswinya. Begitu dapat contoh suratnya, kita balik lagi ke ruang BK. Tanya sama Bu Ina, boleh nggak, kalau kita pulang dulu buat ngambil buku?

Kata Bu Ina, “Bu Indri kasih izin, ndak?”
“Bu Indri manut sama keputusan Bu Ina...”
Bu Ina menimbang-nimbang, “Ya sudah, kalian menghadap lagi ke Bu Indri. Bu Ina manut saja sama beliau. Konfirmasi dulu ya, ke Bu Indri? Nah terus, surat pernyataanya itu, kalian beli kertas dulu sana, buat ngurus suratnya.”

Allohu Akbar.... bolak-balik lagi dah kita! Sabar... sabar....
Kami memutuskan untuk membagi kelompok. Sebagian minta izin ke Bu Indri (kebetulan aku salah satu di antaranya), sebagian lagi membeli kertas folio.

“Mmm... ya sudah, nanti biar saya temui sendiri Bu Ina,” kata Bu Indri setelah mendengar keterangan dari Rizza. Sudah, akhirnya kami kembali lagi ke ruang BK dan menulis surat pernyataan.

Akhirnya, seharian itu kami sama sekali nggak ikut pelajaran Basdon. Nggak jadi pulang. Kami diminta belajar di perpus aja. Hhh... okelah.
____________________
         
Menuju ke inti.

Intinya adalah, kejadian hari itu merupakan awal semangat baru buatku. Gara-gara melihat angka 55 bertengger dengan ‘indahnya’ di kolom poin, aku jadi terpacu untuk bisa berjuang lebih keras. Serasa ingin membuktikan kalau kesalahan hari itu bisa aku tebus dengan prestasi. Dan sejak saat itu, aku bertekad untuk melakukan minimal 55 kali kebaikan. Yang pasti, harus ada kaitannya dengan materi pelajaran.

Itulah kenapa kemudian aku bisa mencintai lebih banyak mata pelajaran. Aku pengen bisa ‘balas dendam’! Angka 55 nggak akan menyurutkan tekadku. Karena daku pejuang sejati, wow!!

Walaupun menyebalkan (aduh, ampun, Buu...!), tapi itu adalah salah satu kenangan yang masih setia nyantol di memoriku. Hiks, ternyata hal semacam ini pun indah juga untuk dikenang... T.T
____________________

Foot Note : Akhirnya,--mungkin karena hal ini dirasa tidak adil dan merugikan generasi masa depan, bbrrrrrr—poin 55 itu pun dihapuskan juga dari catatan kami. Yiaaaaaaa.... Alhamdulillaah....!! ^^9
Tapi kami tetap tidak bisa menghindar dari hukuman Surat Pernyataan T.T
Sampai harus mengumpulkan lima tanda tangan segala. Dari diri sendiri, Guru Bahasa Indonesia, Guru BK, Wali Kelas, dan Waka Kesiswaan.

Hihi, sebenarnya malu juga sih, kalau kutuliskan pengalaman ini. Tapi semoga dengan adanya flash back semacam ini, aku dan teman-teman (terutama para ‘tersangka’ dalam ‘kasus’ ini, hehe) bisa mengambil hikmah dan pelajarannya, ya? Hehe... tetap semangatt!! ;)
____________________



2 komentar:

  1. berani jujur itu baik !!

    khilaf banget pas itu ... hiks hiks,.,
    syukron katsiron ya mbak Qon... menuliskan kenangan-kenangan indah masa Aliyah :)

    BalasHapus
  2. Iya Mbak Fida, masa-masa Aliyah yang nggak terlupakan, huaa T.T
    Thanks sudah mampir ^^

    BalasHapus