Rabu, 02 Desember 2015

CINTA YANG MEMBARA PASTI AKAN MATI. MAKA, JATUH CINTALAH SEWAJARNYA

Kali ini, aku setuju banget sama tulisan Om Henry Manampiring dalam bukunya Cinta (Tidak Harus) Mati. Kalau ditulis ulang dengan bahasa sendiri, memang nggak akan sebagus tulisan aslinya. Tapi, inti moralnya ngena banget, sampai rasanya pengen kuawetin pake tulisanku sendiri. Hehehe.... (buat yang penasaran, monggo dibaca tulisan dari penulis aslinya).

Yang paling kuingat adalah, bahwa cinta tidak sepantasnya disikapi secara berlebihan. Banyak yang mengatasnamakan cinta, lantas seseorang jadi terlalu melankolis, terlalu romantis. Waktu habis dengan asyik memikirkan, menuntut pertemuan, dan rela melakukan apapun demi si dia. Meluncurlah kata-kata gombal, sikap-sikap dimabuk cinta, dan rasa cemburu yang kadang tidak pada tempatnya.

Padahal, cinta yang terlalu tinggi pada seseorang memiliki efek sama seperti nge-fly (Om Henry menyebutnya "high on drugs"). Tinggi, tapi bersifat sementara. Kalau sudah mencapai klimaks, rasa itu akan menurun dengan sendirinya... terus menurun, lantas menghilang sama sekali.

Yang paling aku suka, ketika Om Henry menyebut bahwa "otak harus kembali ke equilibrium-nya." Banyak yang menyangka, ketika cinta sedang tinggi-tingginya, maka itulah yang dinamakan cinta sejati. Memuja sepenuh hati. Padahal, sesuatu yang memabukkan tak ada yang benar-benar baik.

Karena itu, sering kita dapati pasangan yang jatuh cinta di awal, lantas ujung-ujungnya, putus dengan pertengkaran. Saling menuntut, menganggap diri paling benar, seolah lupa kalau dulu punya ribuan kosakata untuk ngegombal di depan pacar. Lupa dulu sering begadang biar bisa telepon-teleponan. Berkorban waktu, uang, tenaga, pulsa dan kuota. Lantas semua berakhir menyedihkan, hancur sehancur-hancurnya.

See? Lamanya masa pacaran, atau merasa saling cocok saat pacaran, tidak akan bisa jadi jaminan bahwa hal yang sama akan berlanjut setelah pernikahan. Efek jatuh cinta memang luar biasa. Tapi, akan ada masanya semua itu berjumpa dengan titik jenuh. Masalahnya, apakah jenuh itu tetap bisa ditoleransi, atau malah menuntut seorang pengganti? Ckckck....

So, cinta yang benar adalah yang memberi rasa tentram, rasa aman, dan rasa nyaman. Tidak terlalu tinggi, tidak berlebihan, dan jangan terlalu mabuk.

Mencintai secukupnya. Mengagumi sewajarnya. Karena perasaan itu baru disebut normal ketika "ia menjadi ekuilibrium itu sendiri" (saya kutip dari kalimat Henry M).

Jatuh cinta seperti sepasang sahabat. Saling menyayangi dan menerima satu sama lain. Karena cinta yang nyaman adalah cinta yang tak banyak riak gelombang. Tenang saja, damai saja, santai saja. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar