Aku nggak tahu kenapa dia pengen banget berbicara empat mata sama aku. Aku cuma mesem sambil beralasan, "Entar yang ketiganya setan, loh."
Dia senyum masam, lalu dengan agak terpaksa memberiku sebuah penawaran, "Ya udah, kamu boleh ngajak teman, siapa aja."
Aku senyum pas dia ngomong begitu. Pasti ada hal penting yang sangat ingin dia sampaikan.
Di sini, sekarang. Aku duduk di rerumputan tepi danau kampus. Tempatnya sepi, hanya ada aku, dia, dan tiga orang temanku. Dia agak kaget pas tahu kalau ternyata, aku bawa teman lebih dari satu orang. Tapi kelihatannya, dia nggak keberatan. Tetap saja, akhirnya toh malah cuma aku yang dia ajak bicara. Lainnya, pada asyik sendiri jalan-jalan sambil foto selfie. Dasar!
*****
"Aku serius lho, Nin, sama kamu."
"Serius apanya?"
Dia berdecak; agak sebal kelihatannya, "Kok nanya lagi? Serius kalau... aku suka sama kamu."
Aku nunduk. Iya sih, dia sering kasih "sinyal" sama aku. Terlalu sering untuk nggak bisa aku sadari. Tapi, aku takut. Khawatir kalau ternyata, dia nggak bisa serius.
"Masa?" aku nanya asal.
"Apanya?" dia mulai geregetan, "Kamu nggak lihat aku sampai ngotot begini?"
Aku tertawa. Sejujurnya, aku deg-degan banget. Selama ini, kita cuma berteman. Biasa saja. Ngobrol juga nggak canggung, nggak ada perasaan berdebar-debar atau yang semacamnya. Makanya, aku agak bingung bagaimana cara menanggapi.
"Gimana?" dia meminta kepastian.
"Apanya yang gimana? Kalau emang serius, katakan itu sama orang tuaku," aku tersenyum lebar. Sungguh, aku asal nyeplos sebenarnya. Niat hati kepengin menguji keseriusan dia.
Dia diam sebentar, "Jadi, aku boleh datang ke rumahmu?"
"Datang aja."
"Oke. Kalau gitu, dua minggu lagi."
"Apanya?"
"Ke rumah kamu, lah. Sama orang tuaku juga."
Aku terbelalak. Ha? Orang tua?? Seriusan, nih?!
"Mau... ngapain?" tanyaku ragu-ragu.
Dia mengangkat alisnya dengan nakal, "Ngelamar kamu, lah. Apa lagi?"
Pikiranku nge-blank. Aku sampai nggak sadar terbengong-bengong setengah melamun. Masih nggak bisa menyerap seutuhnya atas apa yang aku perbincangkan dengan dirinya.
"Datang aja," aku nyeplos lagi. Pengen nantang. Pengen tahu. Padahal, duh! Dia serius banget, Nindiii... kamu nggak bisa lihat itu?! Pengen rasanya kuketok kepalaku sendiri. Duh, dasar!
Pikiranku butek, sebutek air di danau kampus.
*****
Ya Allah... dia beneran serius ternyata!
Aku masih mengunci diri di kamar, belum berani keluar. Aku lihat, dia dan keluarganya turun dari mobil. Bapak dan Ibu menyambut mereka.
Aku ngaca di cermin. Penampilanku sudah rapi. Pakai gamis merah jambu dan kerudung lebar segi empat dengan warna putih semi-semi pink. Ibuku yang pilihin. Aku jadi kelihatan cantik. 'Demi hari ini.' Padahal, asli, aku masih setengah sadar sama apa yang akan terjadi.
Ya Allah... hari yang mendebarkan. Ternyata hari ini benar-benar tiba. Aku pikir dia "slenge'an". Makanya, aku suka nggak serius kalau nanggepin dia. Nggak nyangka, dia jauh lebih serius dari yang aku duga.
Tanganku berkeringat dingin. 'Aku mau pingsan!'
Tapi, sambil bercermin, aku tersenyum walau agak dipaksakan. 'Oke fine. Nin, it's serious.'
Entah mengapa, aku merasa berbunga.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar