Rabu, 26 Agustus 2015

CINTA UNTUK KANGMAS OPERATOR _ (Cerpen)

Tisa lagi sibuk dengan setumpuk buku-buku berbahasa Inggrisnya. Di sebelahnya, si Farah asyik saja mengangguk-angguk dengan earphone di telinga. Mulutnya ngoceh merapal lirik lagu. Buku-buku sastra Indonesia juga numpuk di sebelah, tapi disentuh pun tidak.

"Belajar woy, nyanyi mulu kayak suaramu bagus aja," Tisa susah konsentrasi di samping Farah. Teman sekosannya itu kalau sudah asyik paling nggak bisa diganggu.

"Males ah, bentar lagi juga belajar," entah udah berapa kali kalimat itu dia ulang-ulang. Ponsel terus yang dia perhatikan. Tiba-tiba, sambil nyengir, dia nyeletuk, "Masih zaman aja ya, sms penipuan kayak gini."

"Apaan?"

"Nih, barusan aku dapat sms. Ngakunya, sih dari operator. Katanya aku dapat hadiah motor Mio...."

Tisa nyengir, geleng-geleng kepala. Ah, itu mah udah biasa.

Mereka kembali dengan kesibukan masing-masing.

Nggak lama kemudian, Farah berhenti menyanyi.

"Halo?" dia perbaiki posisi earphone-nya. Ada yang telepon rupanya.

"Siapa ya?"

Tisa perhatikan, raut wajah Farah serius sekali. Kemudian, dia nyengir, lantas serius lagi.

"Hah? Masa sih, Mas? Beneran?"

Tisa mendekat. Bertanya lewat gerak bibir tanpa suara. 'Apaan, sih?'

"Mas-mas yang ngaku dari operator," Farah mencabut earphone dan menyetel ponselnya ke mode loudspeaker. Bukan Tisa yang minta, tapi Farah antusias sekali ingin menunjukkannya.

"... Halo, Mbak?" terdengar suara dari seberang.

"Cuekin aja, sih...." bisik Tisa tak digubris si empunya ponsel.

"Eh iyaa... halo, Mas...??" Farah girang bukan kepalang.

"Iya halo... jadi, Mbak... dengan... Mbak siapa?"

"Farah."

"Oh, Mbak Farah ya? Mbak Farah dengan nomer 085229xxxxxx... betul?"

"Iya betul."

"Iya, Mbak Farah, selamat ya... Anda adalah pemenang undian TelkomsayPoin dan berhak mendapatkan hadiah satu unit sepeda motor matic dari Telkomsay...." suara di seberang terus saja mengoceh. Nggak sadar kalau yang ditelepon malah asyik manyun-manyun menirukan suaranya sambil menahan tawa.

Melihat tingkah temannya, Tisa mau-nggak mau jadi abai dengan tugas kuliahnya. Menarik. Farah bisa aja ngerjain orang.

"Ya Allah, Maas... ini beneran, Mas?? Serius? Saya dapat motor??"

"Iya, Mbak...."

"Mas nggak becanda, kan? Serius? Beneran??"

"Iya, Mbak Farah____"

Kyaaaa... Ya Allah alhamdulillaah... alhamdulillaah... saya mau punya motooor...! Dikirim ke sini kan, Mas... iya, kaaan...??"

Lebay juga ini si Farah.

"Iya Mbak, nanti minta tolong Mbak kirimkan alamat lengkap Mbak Farah ya.... Dan sebelumnya Mbak, untuk mendapatkan hadiah tersebut, dimohon memenuhi ketentuan yang berlaku. Mbak Farah bisa...."

Si Mas ngoceh terus di seberang, menyebutkan syarat-syarat yang nggak didengerin Farah, malah lawan bicaranya itu keasyikan ngikik di ruang tamu kosannya. Tisa nggak kalah gemas dengerinnya. Ini anak serius banget becandanya.

"Halo, Mbak?" si Mas cari perhatian lagi.

"Eh, iya Mas... saya masih di sini...."

"Iya, jadi bagaimana, Mbak Farah?"

"Apanya, Mas, yang gimana?" berlagak telmi si Farah ini.

"Tadi saya sudah sebutkan syarat-syaratnya... saya ulang ya...."

"Nggak, Mas, nggak usah, saya ingat, kok. Mas beneran, kan...??"

"Iya, Mbak. Saya manager di operator ini____"

"Alhamdulillaah... saya seneng banget lho, Mas...."

"Iya, alhamdulillah ya, Mbak ya...." si Masnya nyahut aja.

"Mbak Farah, ada dua pilihan warna motor, Mbak ingin yang biru atau yang merah?"

Agaknya serius betul si mas-mas ini mau nipu orang.

"Udah warna apa aja, Mas. Asalkan Mas yang pilihin, saya mau!!" Farah mulai ngelantur.

"Iya Mbak, baiklah kalau gitu____"

"Mas Joko?"

"Ya? Eh, nama saya Edi, Mbak."

"Iya, saya manggil tukang bakso lewat."

Tisa cekikikan. Mana ada tukang bakso?

"Mas Edi...."

"Iya, Mbak Farah?"

"Saya senang bisa kenal sama Mas."

"Iya Mbak, sama-sama. Saya juga... eh?"

"Mas tahu? Saya pengen nyanyi buat Mas, sebagai ucapan terima kasih dari saya. Mas dengerin ya...?? Suara saya bagus, lho...."

Mas Edi ketawa. Sebelum si Mas bilang apa-apa, Farah sudah mulai bernyanyi.

"Hari ini... adalah lembaran baru bagikuu...."

Tisa kepingkal-pingkal nutupin wajahnya pakai bantal. Anak-anak kosan yang lain tiba-tiba saja jadi ikutan nimbrung. Masih sambil nyanyi, Farah kasih kode.

"Inilah... diriku... dengan melodi untukmuuu... SEMUANYA!"

"DAN BILAA... AKU BERDIRIII... TEGAAR... SAMPAI HARI INII... BUKAAAN KARNA KUU...AT DAN HEBATKUU...UUU...."

Anak-anak sekosan ramai bikin paduan suara. Tisa tambah kepingkal-pingkal. Farah membekap mulutnya pakai bantal. Parah si Tisa mah, ngakaknya nggak ketulungan.

Di seberang sana, Mas Edi nggak mampu berkata-kata. Yang ditelepon asyik bikin paduan suara tanpa jeda. Bukan cuma sampai reff, tapi sampai kelar itu lagu.

"SEMUAA... KARENA CINTAA...."

"Ee... Mbak...."

"SEMUA... KARENA CINTAA...."

"Mbak...?"

"TAK MAAAMPU DIRIKU... DAPAT BERDIRI TEGAR... TERIMA KASIH CINTAA...."

"Hh... Mbak Farah?"

"TRIMAKASIH... CINTAA...!"

"Mbak...??"

"Gaes, Yovie and Nuno, Manusia Biasa. Jeng-jeng-jeng--MASIH KUINGAAT SELALU... SAAT KAU BERJANJI... PADAKU... APAA...??"

"TAKKAN PERNAH ADA CINTA YANG LAINNYA, TERASA BEGITU INDAAAAAAHH...!!"
*****

SERIUS _ (Cerpen)

Aku nggak tahu kenapa dia pengen banget berbicara empat mata sama aku. Aku cuma mesem sambil beralasan, "Entar yang ketiganya setan, loh."

Dia senyum masam, lalu dengan agak terpaksa memberiku sebuah penawaran, "Ya udah, kamu boleh ngajak teman, siapa aja."

Aku senyum pas dia ngomong begitu. Pasti ada hal penting yang sangat ingin dia sampaikan.

Di sini, sekarang. Aku duduk di rerumputan tepi danau kampus. Tempatnya sepi, hanya ada aku, dia, dan tiga orang temanku. Dia agak kaget pas tahu kalau ternyata, aku bawa teman lebih dari satu orang. Tapi kelihatannya, dia nggak keberatan. Tetap saja, akhirnya toh malah cuma aku yang dia ajak bicara. Lainnya, pada asyik sendiri jalan-jalan sambil foto selfie. Dasar!
*****

"Aku serius lho, Nin, sama kamu."

"Serius apanya?"

Dia berdecak; agak sebal kelihatannya, "Kok nanya lagi? Serius kalau... aku suka sama kamu."

Aku nunduk. Iya sih, dia sering kasih "sinyal" sama aku. Terlalu sering untuk nggak bisa aku sadari. Tapi, aku takut. Khawatir kalau ternyata, dia nggak bisa serius.

"Masa?" aku nanya asal.

"Apanya?" dia mulai geregetan, "Kamu nggak lihat aku sampai ngotot begini?"

Aku tertawa. Sejujurnya, aku deg-degan banget. Selama ini, kita cuma berteman. Biasa saja. Ngobrol juga nggak canggung, nggak ada perasaan berdebar-debar atau yang semacamnya. Makanya, aku agak bingung bagaimana cara menanggapi.

"Gimana?" dia meminta kepastian.

"Apanya yang gimana? Kalau emang serius, katakan itu sama orang tuaku," aku tersenyum lebar. Sungguh, aku asal nyeplos sebenarnya. Niat hati kepengin menguji keseriusan dia.

Dia diam sebentar, "Jadi, aku boleh datang ke rumahmu?"

"Datang aja."

"Oke. Kalau gitu, dua minggu lagi."

"Apanya?"

"Ke rumah kamu, lah. Sama orang tuaku juga."

Aku terbelalak. Ha? Orang tua?? Seriusan, nih?!

"Mau... ngapain?" tanyaku ragu-ragu.

Dia mengangkat alisnya dengan nakal, "Ngelamar kamu, lah. Apa lagi?"

Pikiranku nge-blank. Aku sampai nggak sadar terbengong-bengong setengah melamun. Masih nggak bisa menyerap seutuhnya atas apa yang aku perbincangkan dengan dirinya.

"Datang aja," aku nyeplos lagi. Pengen nantang. Pengen tahu. Padahal, duh! Dia serius banget, Nindiii... kamu nggak bisa lihat itu?! Pengen rasanya kuketok kepalaku sendiri. Duh, dasar!

Pikiranku butek, sebutek air di danau kampus.
*****

Ya Allah... dia beneran serius ternyata!

Aku masih mengunci diri di kamar, belum berani keluar. Aku lihat, dia dan keluarganya turun dari mobil. Bapak dan Ibu menyambut mereka.

Aku ngaca di cermin. Penampilanku sudah rapi. Pakai gamis merah jambu dan kerudung lebar segi empat dengan warna putih semi-semi pink. Ibuku yang pilihin. Aku jadi kelihatan cantik. 'Demi hari ini.' Padahal, asli, aku masih setengah sadar sama apa yang akan terjadi.

Ya Allah... hari yang mendebarkan. Ternyata hari ini benar-benar tiba. Aku pikir dia "slenge'an". Makanya, aku suka nggak serius kalau nanggepin dia. Nggak nyangka, dia jauh lebih serius dari yang aku duga.

Tanganku berkeringat dingin. 'Aku mau pingsan!'

Tapi, sambil bercermin, aku tersenyum walau agak dipaksakan. 'Oke fine. Nin, it's serious.'

Entah mengapa, aku merasa berbunga.
*****

CINTA DALAM HATI

Menjadi orang yang pendiam itu... serba dilematis. Ingin rasanya mengungkapkan sesuatu, tapi hanya bisa membahasakannya dalam diam. No words, no speak. Segalanya cuma bisa dipendam dalam hati.

Ada keinginan bicara, tapi tidak bicara. Punya hasrat berseru, memekik, memuji, berkeluh kesah; semuanya hanya disimpan untuk diri sendiri. Kasmaran, suka, cinta, cemburu, marah, benci....

Orang-orang introvert punya pelampiasan sendiri untuk menumpahkan isi hatinya. Bukan dengan lisan --barangkali salah satunya dengan tulisan. Menulis, mencorat-coret, menciptakan berlembar-lembar diary sampai hilang beban di hati.

Walau tak diucapkan, ia punya cara tersendiri untuk mencintai. Ada doa yang dipanjatkan. Ada pengharapan tulus yang lirih ia ucapkan. Ada namamu yang ia sebut. Ada raut wajahmu yang ia bayangkan.

Dia yang tak banyak bicara, barangkali tidak banyak memberi makna. Tapi, dia punya cukup banyak cinta yang dia bagi untuk setiap nama yang disebutnya dalam doa.

Dia, yang menunduk malu tiap berpapasan denganmu. Yang hanya bisa tersenyum untuk setiap perhatianmu. Ketahuilah; ada cinta dalam hati yang amat ingin ia bagi.
*****

CUEK

Cuek. Punya karakter yang satu ini memang gampang-gampang susah. Orang yang cuek biasanya dihindari, didiamkan, nggak ditarik untuk membaur. Apalagi kalau baru kenal. Apalagi kalau belum sepaham.

Punya karakter cuek, di sisi lain juga menguntungkan. Nggak gampang sakit hati, itu salah satunya. Entah nggak peka atau karena nggak mau ambil pusing, orang yang cuek biasanya gampang lupa dengan masalah. Bawa enjoy saja, ngapain dipikir berat-berat. Disinggung, disindir, diolok, diomongin di belakang, santai saja. "I have my own world and you can't disturb it." Itu prinsipnya.

Ngomong sama si cuek barangkali agak menyebalkan. Kayak nggak didengerin, kayak nggak bisa diajak serius. Padahal, si cuek juga ternyata punya sifat jujur dan pantang ingkar janji. Kalau toh benar ada janji yang ia ingkari, akan ada perasaan sesal dalam dirinya dan tekad untuk memperbaiki diri. Biarpun cuek, pantang bikin orang merasa sakit hati.

Tapi, kalau si cuek sudah bosan, jangan harap dia bisa kamu paksa-paksa. Butuh waktu untuk dia menyesuaikan diri antara mood dengan kenyataan dan kebutuhan yang mendesak. Mood si cuek memang gampang berubah-ubah, dan bisa jadi sangat drastis. Nggak heran, semenit tadi dia suntuk, menit berikutnya bisa ketawa-tawa.

Yaa... meskipun mungkin nggak semua orang cuek punya karakter kayak gitu, at least, saya sebagai orang-agak-cuek memang seperti itu. Nyiehehee....

Sekian.