Memang benar apa yang dikatakan oleh Aristoteles: "Siapapun bisa marah-marah, itu mudah. Tetapi, marah kepada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang pas demi tujuan yang benar dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah." (Dikutip dari buku berjudul Be New You!! Jurus Biar Nggak Jadi 'Jutek' karya Izzatul Jannah)
Nggak bisa dipungkiri, kalau emosi sudah terpancing, rasanya enteng saja membentak-bentak. Gampang berkata kasar. Kesenggol dikit, melotot. Kena sindir dikit, pengen nonjok. Temannya sedang khilaf, dikata-katai. Yahh... sabar, Bu'...
Apa yang biasanya dilakukan kalau emosi kita sedang tidak stabil? Yaa, tergantung orangnya. Ada yang sekali singgung langsung "meledak", ada yang mbatin, ada yang lantas ngomongin di belakang, ada juga yang cuma diam dan lebih memilih untuk tidak membalas. Tingkat kecerdasan emosi masing-masing orang tentu berbeda. Mana yang paling baik? Ya tentu saja yang berusaha semampu mungkin untuk meredam emosinya. Sebab kata Rasul, "Laa taghdhob walakan jannah." Janganlah marah, bagimu surga.
Nggak nyangkal sih, saya juga sering terpancing emosi, walaupun terhadap hal-hal yang cukup sepele. Memang susah mengatur amarah di saat situasi sudah sangat mendukung untuk hal itu. Kalau pengen marah, marah aja. Ketika sedang emosi, salah satu pelampiasan yang ingin saya lakukan adalah BERTERIAK! Teriak sekencang mungkin sampai perasaan tak enak itu pergi jauh dan tidak kembali.
Tapi nyatanya, saya tidak banyak bertindak. Saya lebih memilih untuk diam. Dimarahi padahal nggak salah, saya cuek. Dimarahi padahal ada kesempatan membela diri, saya berpaling. Kenapa? Takut?
Malas debat saja. Saya nggak suka dengan teriakan-teriakan amarah. Saya sebel lihat orang sampai segitu meledaknya cuma gara-gara secuil masalah. Nggak enak lihat orang melotot sambil meninggikan nada bicara. Kalau dia marah gara-gara saya, oke, saya yang akan introspeksi diri. Kalau dia marah tanpa sebab yang jelas, terserah. Saya lebih memilih pergi dan mengabaikan omelan-omelannya.
Kalau toh saya butuh pelarian untuk melampiaskan kekesalan saya, saya lebih memilih untuk percaya pada Allah dan pada buku tulis. Percaya pada Allah, artinya, cukup dengan berdoa, menangis, meminta, atau menumpahkan unek-unek saya kepada Dia Yang Maha Mendengar. Tempat curhat yang paling aman dan menentramkan, siapa lagi kalau bukan Tuhan? Percaya pada buku, artinya, saya cukup menumpahkan emosi saya lewat tulisan tangan dan membacanya untuk diri saya sendiri. Cara ini cukup menentramkan perasaan saya. Beberapa masa kemudian, ketika saya telah berhasil melalui masa-masa menyebalkan itu, saya bisa tersenyum kembali, mengingat betapa "lucu" dan kekanak-kanakannya saya dalam menghadapi masalah tersebut.
Saya cukup santai dengan masalah. Mungkin lebih tepatnya, saya bukan tipikal orang yang pandai menceritakan masalah. Lisan saya kadang kesulitan merangkai kata, kurang fasih mengungkap emosi dan kata hati. Cukup dengan diam dan bicaralah pada Tuhan. Pada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar