Rabu, 10 September 2014

BILA CINTA HARUS DITAHAN


Jatuh cinta sebelum waktunya? Ah, bisa jadi, itu cuma ketertarikan sesaat. Istilah umumnya, kasmaran. Lucu kalau kita langsung menyebut itu jatuh cinta. Bisa jadi sekedar tertarik secara fisik.


Ingat; cinta itu ibarat tanaman. Semakin kau pupuk, semakin tumbuhlah ia. Begitupun sebaliknya; jika kau abaikan, cinta itu akan hilang dengan sendirinya.



Bagaimana menjaga hati supaya tak tergoda mengumbar cinta? Gampang-gampang susah, sih. Tapi, kalau ada niat dan usaha, pasti bisa.



Ada ungkapan bijak yang berbunyi : "Jodohmu, sampai kapan pun nggak akan tertukar." Semua yang Allah ciptakan di muka bumi, selalu ada pasangannya. Kalau sudah tiba waktunya, jodoh itu akan datang atas seizin Allah. So, untuk apa khawatir? Toh pacaran tidak menjamin seseorang akan menikah dengan pacarnya. Toh dengan cari perhatian, belum tentu 'si dia' jadi tertarik. Toh dengan banyak bertingkah, orang yang disukai tidak mesti menoleh dan memberi respon. Betul, kan?



Nah, lalu, apa lagi? Kalau kamu jatuh cinta dan sedang butuh tempat untuk menumpahkan segala perasaanmu, carilah tempat yang paling aman. Singkatnya, pada Allah SWT. Dia Maha Tahu, Maha Mengerti. Panjatkan doamu, bisikkan keluh kesahmu, minta pada-Nya untuk menjauhkanmu dari perasaan 'galau'.



Atau, kamu butuh orang lain untuk jadi tempat curhatmu? Silahkan saja. Carilah teman atau sahabat, atau siapapun yang kamu anggap bisa kamu percaya. Tapi tentunya, dia pun harus bisa membantumu.

Carilah yang bisa menjaga rahasia, memberi masukan, dan mendukungmu untuk belajar menyelesaikan masalah. Bukan yang berkata "Cieee....!" ketika kamu tak sengaja berpapasan dengan 'si dia'. Bukan yang hanya sekedar menikmati cerita, tapi tak memberikan masukan apapun. Menenangkan perasaanmu, bukan berarti ia mendukungmu untuk "meneruskan" perasaanmu, melainkan yang bisa mengajakmu move on demi menghindari konsep cinta yang keliru.



Stay cool. Suatu saat nanti, kalau hal itu bukan murni cinta, perasaan itu perlahan-lahan akan terkikis, dan kamu bisa kembali 'hidup normal'.



Jatuh cinta? Jangan ditulis. Nggak perlu diterusin jadi status FB. Entah itu tentang kamu yang papasan sama dia, dapat senyumnya dia, ketemu momen yang bikin kamu bisa lebih sering ngeliatin dia... Jangan ditulis. Apalagi sampai kamu simpan tulisan itu. Nanti susah dilupakan. Kalau toh mau menulis sekadar untuk menumpahkan unek-unek, habis itu, abaikan saja tulisanmu. Nggak perlu diawetkan, nanti bingung gimana ngelupainnya.



Kasmaran itu bukan cinta. :) Cinta itu, ketika kamu dan "dia" telah benar-benar terikat dalam ikatan pernikahan. Kalau sudah begitu, boleh deeh... Halal deh... ^_^ Dengan begini, hatimu akan tetap terjaga dan nggak perlu berurusan dengan "seseorang dari masa lalu". Menunggu itu lebih mudah daripada melupakan. Jadi, selama masa itu belum tiba, silakan memperbaiki akhlak dan pribadi kita.

Jika kamu sedang belajar untuk memperbaiki diri, percayalah, pasanganmu juga tengah mempersiapkan diri untuk menjadi yang terbaik  bagi dirimu kelak. Kalian akan cocok! :))


_______________________


Minggu, 07 September 2014

BERIKAN DAN LUPAKAN

 "Berikan dan Lupakan!"
Seperti diingatkan kembali. Ketika menjadi ATS (Alumni Training Support) di acara Training ESQ di UMK, 6-7 September 2014 lalu, saya jadi ingat, dulu pun, saya pernah diajarkan tentang indahnya berbagi. Betapa nikmatnya ketika kita bisa ikhlas memberi bantuan, menolong sesama, entah itu dalam bentuk benda maupun tenaga. Luar biasa puasnya ketika kita mampu membuat orang lain tersenyum karena bebannya diringankan.


"Tangan yang seringan angin", begitulah dosen saya memberikan deskripsi tentang kedermawanan sosok Nabi Muhammad SAW. Rasul yang mengajarkan tentang indahnya bersedekah, membantu sesama. Membuat kita tahu bahwa kebahagiaan memberi adalah lebih besar daripada kebahagiaan menerima. Karena memberi adalah pilihan; apakah ingin memberikan sedikit, sebagian, atau malah seluruhnya? Sedangkan menerima adalah mendapatkan sesuatu yang dipasrahkan orang lain; tidak dapat ditentukan apakah kita akan menerima banyak atau sedikit. Bisa jadi, orang yang menerima sedikit akan mengeluh kesal karena mengharapkan pemberian yang lebih banyak lagi.



Pengalaman kerap mengajarkan saya tentang makna berbagi. Pernah suatu ketika, saya mengikuti seminar yang dipelopori oleh Fosma Jateng dan ESQ 165, di Hotel Grasia, Semarang. Kak Yus Ibnu Yasin selaku trainer dalam acara tersebut, memandu para peserta untuk mengambil sepatu masing-masing. Lantas, kami diminta duduk secara berpasangan.



Kami diberi amplop yang berisi selembar tissu. Kata Kak Yasin, "Sekarang, silahkan kalian bertukar sepatu, dan semir sepatu teman kalian sampai bersih!"



Kami menyambut permintaan itu dengan dengungan tak percaya bercampur tawa. Tapi, semuanya menurut saja. Dengan tissu tersebut, kami asyik "menyemir" sambil terus menahan tawa dan menciptakan obrolan dengan kawan-kawan. Usai riuh dengan kegiatan tersebut, Kak Yasin meminta kami berhenti dan beliau sendiri meneruskan bicaranya.



"Nah, teman kalian kan sudah berbaik hati menyemirkan sepatu kalian... Sekarang, kalian bisa membalas kebaikan teman kalian itu. Caranya? Silahkan amplop yang tadi dibagikan, kalian isi dengan uang, berapapun. Berikan kepada teman kalian itu sebagai tanda terima kasih."



Yah, jadilah kami semua merogoh saku masing-masing dan menyisipkan lembaran rupiah ke dalam amplop, kemudian saling menukarkannya. Tidak ada yang memberi tahu, apakah ia memasukkan uang seribu, lima ribu, sepuluh ribu, atau bahkan lebih dari limapuluh ribu.



Kata Kak Yasin, "Apa yang kalian rasakan ketika menyemir sepatu teman kalian? Senang atau sedih?"



Semua peserta kompak menjawab, "Senaang...!"



Beliau tersenyum dan menarik kesimpulan, "Itulah nikmatnya berbagi. Ketika mampu memberi dengan kerelaan hati, kita akan merasa senang, bukan malah terbebani." Kak Yasin melanjutkan kata-katanya yang membuat kami semakin paham tentang makna berbagi. Benar, tidak ada yang merasa terbebani, ketika pemberian yang kita ulurkan memang dilandaskan pada niat yang ikhlas. Maka, ketika kak Yasin menawarkan satu kesempatan lain bersedekah dengan mengatakan, "Setuju tidak, jika uang dalam amplop tersebut kita sumbangkan untuk kegiatan sosial?" Semua langsung menjawab, "Setujuuu...!!" dengan penuh semangat. Amplop dikumpulkan dan semuanya dipasrahkan kepada kakak-kakak ATS untuk diteruskan kepada pihak yang lebih membutuhkan.



Berbagi memang tidak harus dengan banyak uang. Sedekah bukan berarti selalu pakai rupiah. Dengan tenaga pun, kita bisa berjasa untuk orang lain. Walau tidak banyak, uang receh yang kita punya bisa bernilai pahala jika kita ikhlas mensedekahkannya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak berbagi.



Berikan dan lupakan. Banyak-banyaklah memberi, tanpa perlu mengungkit-ungkitnya lagi. Itulah yang Islam ajarkan. :)



"... Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi Rizki yang terbaik."  (Q.S. Saba' : 39)



"Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya)bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia." (Q.S. Al-Hadid : 18)


______________________

MASIH PERCAYA AJA SAMA WRITER'S BLOCK??


Tiba-tiba jadi kehilangan bahan untuk dituliskan. Padahal beberapa hari yang lalu, belasan ide bertebaran di kepala, siap dituangkan. Sekarang, kembali terjebak dalam zona writer's block.

Terlalu fokus pada proses editing akan membuat kita kesulitan untuk menulis. Padahal, proses editing adalah proses yang terakhir. Tidak harus kita lakukan langsung ketika selesai menuliskan bahan. Proses ini bahkan bisa kita lakukan setelah lewat beberapa hari, beberapa minggu, bahkan beberapa bulan. Butuh waktu untuk mengendapkan tulisan, untuk membuat kita "lupa", apa saja yang telah kita tuliskan. Dengan begitu, ketika kita mengedit, kita akan mampu menilai secara lebih objektif. Bacalah dengan pikiran yang "kosong", sehingga tidak terganggu dengan ingatan, "Oh, setelah ini akan ada kalimat yang bunyinya begini dan begini."....

Jangan terlalu fokus pada perbaikan kalimat. Tuliskan saja idemu. Tuangkan dalam bentuk rangkaian kata-kata sehingga membentuk banyak paragraf. Acuhkan persepsi 'jelek', 'tulilsan yang buruk', 'tidak enak dibaca', dan sebagainya. Bukankah gunanya menulis adalah supaya pikiranmu menjadi plong? Menumpahkan segala ide yang jika hanya dibiarkan, hanya akan menumpuk dan memusingkan kepala.

Menulis itu supaya hatimu senang, pikiranmu tenang. Maka, buang saja semuanya lewat goresan penamu, lewat ketikan keyboard-mu. Buang, muntahkan, tumpahkan. Tidak peduli seberapa jelek jadinya ia. Kan, yang penting perasaanmu jadi lebih plong. Apalagi yang lebih menyenangkan daripada itu?

Lihat? Kalau kamu bisa mengacuhkan rasa takutmu, inilah yang terjadi. Kamu telah berhasil menulis. Lihat, bukan hanya satu-dua paragraf. Kamu bisa menuliskannya lebih banyak lagi jika pikiranmu belum benar-benar "bersih". Tapi kali ini, rasanya cukup sekian dulu. Lain kali, bolehlah dicoba lagi.
_____________________

EMOSI? LARILAH PADA DUA HAL INI

Mengelola emosi memang menjadi perkara yang susah-susah gampang. Apalagi, kalau hal-hal di sekitar kita malah membuat "panas" situasi. Lagi sibuk, diganggu. Lagi capek, diusik. Lagi santai, dirusuhin. Nggak salah apa-apa, dimarahin. Siapa coba yang nggak emosi?

Memang benar apa yang dikatakan oleh Aristoteles: "Siapapun bisa marah-marah, itu mudah. Tetapi, marah kepada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang pas demi tujuan yang benar dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah." (Dikutip dari buku berjudul Be New You!! Jurus Biar Nggak Jadi 'Jutek' karya Izzatul Jannah)

Nggak bisa dipungkiri, kalau emosi sudah terpancing, rasanya enteng saja membentak-bentak. Gampang berkata kasar. Kesenggol dikit, melotot. Kena sindir dikit, pengen nonjok. Temannya sedang khilaf, dikata-katai. Yahh... sabar, Bu'...




Apa yang biasanya dilakukan kalau emosi kita sedang tidak stabil? Yaa, tergantung orangnya. Ada yang sekali singgung langsung "meledak", ada yang mbatin, ada yang lantas ngomongin di belakang, ada juga yang cuma diam dan lebih memilih untuk tidak membalas. Tingkat kecerdasan emosi masing-masing orang tentu berbeda. Mana yang paling baik? Ya tentu saja yang berusaha semampu mungkin untuk meredam emosinya. Sebab kata Rasul, "Laa taghdhob walakan jannah." Janganlah marah, bagimu surga.

Nggak nyangkal sih, saya juga sering terpancing emosi, walaupun terhadap hal-hal yang cukup sepele. Memang susah mengatur amarah di saat situasi sudah sangat mendukung untuk hal itu. Kalau pengen marah, marah aja. Ketika sedang emosi, salah satu pelampiasan yang ingin saya lakukan adalah BERTERIAK! Teriak sekencang mungkin sampai perasaan tak enak itu pergi jauh dan tidak kembali.

Tapi nyatanya, saya tidak banyak bertindak. Saya lebih memilih untuk diam. Dimarahi padahal nggak salah, saya cuek. Dimarahi padahal ada kesempatan membela diri, saya berpaling. Kenapa? Takut?

Malas debat saja. Saya nggak suka dengan teriakan-teriakan amarah. Saya sebel lihat orang sampai segitu meledaknya cuma gara-gara secuil masalah. Nggak enak lihat orang melotot sambil meninggikan nada bicara. Kalau dia marah gara-gara saya, oke, saya yang akan introspeksi diri. Kalau dia marah tanpa sebab yang jelas, terserah. Saya lebih memilih pergi dan mengabaikan omelan-omelannya.


Kalau toh saya butuh pelarian untuk melampiaskan kekesalan saya, saya lebih memilih untuk percaya pada Allah dan pada buku tulis. Percaya pada Allah, artinya, cukup dengan berdoa, menangis, meminta, atau menumpahkan unek-unek saya kepada Dia Yang Maha Mendengar. Tempat curhat yang paling aman dan menentramkan, siapa lagi kalau bukan Tuhan? Percaya pada buku, artinya, saya cukup menumpahkan emosi saya lewat tulisan tangan dan membacanya untuk diri saya sendiri. Cara ini cukup menentramkan perasaan saya. Beberapa masa kemudian, ketika saya telah berhasil melalui masa-masa menyebalkan itu, saya bisa tersenyum kembali, mengingat betapa "lucu" dan kekanak-kanakannya saya dalam menghadapi masalah tersebut.

Saya cukup santai dengan masalah. Mungkin lebih tepatnya, saya bukan tipikal orang yang pandai menceritakan masalah. Lisan saya kadang kesulitan merangkai kata, kurang fasih mengungkap emosi dan kata hati. Cukup dengan diam dan bicaralah pada Tuhan. Pada Allah SWT.


_________________