“Eh, ada kutu di rambutmu!”
Ada dua orang mengatakan hal ini kepadamu.
Pertama, seorang teman dekat yang bicaranya sering ceplas-ceplos. Kedua,
seseorang tak dikenal yang baru kamu jumpai di dalam kereta.
Tidak perlu mengecek kulit kepala karena ini
hanya pengandaian. Tapi, kamu tetap boleh mengatakan amit-amit walaupun
saya juga tidak sedang menyumpahi. Hehe....
Pada kejadian pertama, sangat mungkin kamu
tampak terkejut dan berkata, “Benarkah?”, lalu buru-buru menghampiri cermin dan
mengacak-acak rambutmu sendiri. Rasanya malu, tapi karena yang bicara adalah
teman dekat sendiri, semuanya berjalan wajar. Bahkan bisa jadi, akhirnya, kamu
akan meminta temanmu untuk tidak bercerita kepada siapa pun, atau justru
meminta dia untuk membelikanmu obat kutu secara cuma-cuma.
Lain halnya dengan kejadian kedua. Seseorang
yang tidak kamu kenal, tidak pernah berjabatan tangan denganmu, menyebutkan
namanya atau sekadar berbasa-basi – hanya kebetulan duduk bersebelahan – tiba-tiba
berseru, “Ada kutu di rambutmu!” Sangat mungkin jika reaksi kamu
berikutnya adalah tampak terkejut, basa-basi bertanya,”Benarkah?”, kemudian
mengusap rambutmu dengan salah tingkah. Meski tidak ada yang berkomentar,
orang-orang mulai melirikmu dan menunjukkan ekspresi yang tidak ingin kamu
perhatikan lebih jauh. Dalam hal ini, kamu tidak akan pernah berterimakasih
atas informasi yang diberikan oleh orang di sebelahmu. Sial, bikin
malu orang saja! Kamu mungkin akan merutuknya sepanjang perjalanan atau
mendoakannya tertular kutuan. Jelas sekali orang itu hanya terkesan
mempermalukanmu.
Saya tiba-tiba menangkap ilustrasi semacam itu.
Bukan karena saya kutuan – saya rajin membersihkan rambut kepala – tapi karena
di dunia ini, ada banyak sekali kutu yang menempel di kepala
orang-orang dan menjadi bahan komentar dari orang lain. Padahal, sangat mungkin
dia sendiri juga kutuan, karena toh, kutu bisa meloncat dari satu
kepala ke kepala lain.
Apa artinya kutu? Kutu yang saya
maksud adalah persepsi.
Setiap orang punya persepsi masing-masing.
Setiap orang berhak memiliki ide, berpikir tentang sesuatu, lalu mengutarakan
pendapatnya pada orang lain. Pendapat itu bisa jadi benar, bisa jadi salah,
bahkan sangat mungkin untuk dikomentari atau justru dikritik pedas.
Permasalahannya adalah, tidak semua orang dapat mengutarakan kritiknya – kita
juga bisa menyebut kritikan sebagai pendapat yang berbeda, bukan? –
dengan cara yang cerdas.
Kalau bicara pada teman dekat, kawan akrab,
sahabat, bukan masalah jika masing-masing saling meledek dan mengatai
habis-habisan. Sebuah sikap yang dapat dimaafkan. Toh, dengan kawan sendiri.
Tidak ada maksud menjatuhkan. Justru yang terjadi, malah semakin mempererat
hubungan. Saling lempar pendapat membuat mereka senang. Saling tertular kutu
membuat mereka tertawa, lalu duduk mengular sambil metani rambut
kawannya.
Lain halnya jika kritik yang tidak “cerdas”
disampaikan oleh orang yang kenal saja tidak. Dengan enak sekali
mengutarakan pendapat yang berbeda tanpa tedeng aling-aling; tidak pakai
basa-basi, tidak pakai asah perasaan terlebih dahulu. Yang penting, isi
kepalanya tersampaikan. Yang penting dia tahu bahwa pendapatnya salah dan
sangkalan itulah yang benar. Dia berseru kamu punya kutu, lalu berusaha
menghindar dengan menggeser posisi duduknya, atau justru terang-terangan berdiri
menjauh.
Tidak heran lagi, dalam ranah media sosial,
orang-orang begitu mudahnya mengutarakan isi kepala mereka. Banyak komentar
bermunculan setiap kali isu besar merebak. Ada yang mendukung, menanggapi
dengan lelucon, atau malah menentang habis-habisan. Ada yang pro, netral, ada
juga yang kontra.
Sekarang, kita tidak heran lagi menemukan
orang-orang berdebat di media sosial. Kebanyakan dari mereka justru orang-orang
yang tidak saling mengenal. Hanya kebetulan tersekat menjadi dua kubu. Entah si
A mendukung parpol X dan si B mendukung parpol Y. Entah si C nge-fans dan
doyan nonton vlog artis youtube P dan si D menganggap artis youtube
itu hanya merusak moral bangsa. Entah si E yang tergila-gila dengan klub
sepak bola M dan F jatuh cinta dengan klub sepak bola N. Atau G yang setuju
Bella Swan bersanding dengan Edward Cullen, sedangkan H maunya Bella memilih werewolf
Jacob Black. Ruwet.
Seolah-olah, hal sekecil apa pun di dunia ini bisa diperdebatkan.
Sebenarnya, terserah mau pilih yang mana. Tapi
kalau bisa, pilih cara yang cerdas saja. Menanggapi tanpa menggurui, menolak
tanpa mencela.
Nah, kata siapa kita tidak punya kutu?
Kita sebenarnya juga sudah tertular kutu. Permasalahannya, tertular oleh
siapa, kita tidak tahu. Daripada menuding orang lain, sudahlah, kita metani saja.
Basmi kutunya bersama-sama sambil tertawa.
jadi ingat kejadian di kala itu, wkwk
BalasHapus