Minggu, 10 September 2017

KUTU







“Eh, ada kutu di rambutmu!”

Ada dua orang mengatakan hal ini kepadamu. Pertama, seorang teman dekat yang bicaranya sering ceplas-ceplos. Kedua, seseorang tak dikenal yang baru kamu jumpai di dalam kereta.

Tidak perlu mengecek kulit kepala karena ini hanya pengandaian. Tapi, kamu tetap boleh mengatakan amit-amit walaupun saya juga tidak sedang menyumpahi. Hehe....

Pada kejadian pertama, sangat mungkin kamu tampak terkejut dan berkata, “Benarkah?”, lalu buru-buru menghampiri cermin dan mengacak-acak rambutmu sendiri. Rasanya malu, tapi karena yang bicara adalah teman dekat sendiri, semuanya berjalan wajar. Bahkan bisa jadi, akhirnya, kamu akan meminta temanmu untuk tidak bercerita kepada siapa pun, atau justru meminta dia untuk membelikanmu obat kutu secara cuma-cuma.

Lain halnya dengan kejadian kedua. Seseorang yang tidak kamu kenal, tidak pernah berjabatan tangan denganmu, menyebutkan namanya atau sekadar berbasa-basi – hanya kebetulan duduk bersebelahan – tiba-tiba berseru, “Ada kutu di rambutmu!” Sangat mungkin jika reaksi kamu berikutnya adalah tampak terkejut, basa-basi bertanya,”Benarkah?”, kemudian mengusap rambutmu dengan salah tingkah. Meski tidak ada yang berkomentar, orang-orang mulai melirikmu dan menunjukkan ekspresi yang tidak ingin kamu perhatikan lebih jauh. Dalam hal ini, kamu tidak akan pernah berterimakasih atas informasi yang diberikan oleh orang di sebelahmu. Sial, bikin malu orang saja! Kamu mungkin akan merutuknya sepanjang perjalanan atau mendoakannya tertular kutuan. Jelas sekali orang itu hanya terkesan mempermalukanmu.

Saya tiba-tiba menangkap ilustrasi semacam itu. Bukan karena saya kutuan – saya rajin membersihkan rambut kepala – tapi karena di dunia ini, ada banyak sekali kutu yang menempel di kepala orang-orang dan menjadi bahan komentar dari orang lain. Padahal, sangat mungkin dia sendiri juga kutuan, karena toh, kutu bisa meloncat dari satu kepala ke kepala lain.

Apa artinya kutu? Kutu yang saya maksud adalah persepsi.

Setiap orang punya persepsi masing-masing. Setiap orang berhak memiliki ide, berpikir tentang sesuatu, lalu mengutarakan pendapatnya pada orang lain. Pendapat itu bisa jadi benar, bisa jadi salah, bahkan sangat mungkin untuk dikomentari atau justru dikritik pedas. Permasalahannya adalah, tidak semua orang dapat mengutarakan kritiknya – kita juga bisa menyebut kritikan sebagai pendapat yang berbeda, bukan? – dengan cara yang cerdas.

Kalau bicara pada teman dekat, kawan akrab, sahabat, bukan masalah jika masing-masing saling meledek dan mengatai habis-habisan. Sebuah sikap yang dapat dimaafkan. Toh, dengan kawan sendiri. Tidak ada maksud menjatuhkan. Justru yang terjadi, malah semakin mempererat hubungan. Saling lempar pendapat membuat mereka senang. Saling tertular kutu membuat mereka tertawa, lalu duduk mengular sambil metani rambut kawannya.

Lain halnya jika kritik yang tidak “cerdas” disampaikan oleh orang yang kenal saja tidak. Dengan enak sekali mengutarakan pendapat yang berbeda tanpa tedeng aling-aling; tidak pakai basa-basi, tidak pakai asah perasaan terlebih dahulu. Yang penting, isi kepalanya tersampaikan. Yang penting dia tahu bahwa pendapatnya salah dan sangkalan itulah yang benar. Dia berseru kamu punya kutu, lalu berusaha menghindar dengan menggeser posisi duduknya, atau justru terang-terangan berdiri menjauh.

Tidak heran lagi, dalam ranah media sosial, orang-orang begitu mudahnya mengutarakan isi kepala mereka. Banyak komentar bermunculan setiap kali isu besar merebak. Ada yang mendukung, menanggapi dengan lelucon, atau malah menentang habis-habisan. Ada yang pro, netral, ada juga yang kontra.


Sekarang, kita tidak heran lagi menemukan orang-orang berdebat di media sosial. Kebanyakan dari mereka justru orang-orang yang tidak saling mengenal. Hanya kebetulan tersekat menjadi dua kubu. Entah si A mendukung parpol X dan si B mendukung parpol Y. Entah si C nge-fans dan doyan nonton vlog artis youtube P dan si D menganggap artis youtube itu hanya merusak moral bangsa. Entah si E yang tergila-gila dengan klub sepak bola M dan F jatuh cinta dengan klub sepak bola N. Atau G yang setuju Bella Swan bersanding dengan Edward Cullen, sedangkan H maunya Bella memilih werewolf  Jacob Black. Ruwet. Seolah-olah, hal sekecil apa pun di dunia ini bisa diperdebatkan.

Sebenarnya, terserah mau pilih yang mana. Tapi kalau bisa, pilih cara yang cerdas saja. Menanggapi tanpa menggurui, menolak tanpa mencela.

Nah, kata siapa kita tidak punya kutu? Kita sebenarnya juga sudah tertular kutu. Permasalahannya, tertular oleh siapa, kita tidak tahu. Daripada menuding orang lain, sudahlah, kita metani saja. Basmi kutunya bersama-sama sambil tertawa.

1 komentar: