Semua manusia mencintai kata “gratis”. Senang
rasanya mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma. Hadiah, traktiran, apapun itu
yang makna konotatifnya serupa dengan gratis, adalah kebaikan yang
selalu punya tempat di hati siapa saja.
Bahagia? Tentu. Kita bisa merasakan lezatnya es
krim – kita bahagia. Kita melihat adik kecil yang baru tumbuh gigi susunya
sedang menjilat es krim dan wajahnya berkerut geli karena kedinginan –kita
tertawa dan menjadi senang karenanya. Kita membelikan adik kita es krim karena
berhasil mendapat nilai tertinggi di kelas – kita juga merasa bahagia.
Lalu, coba kita bandingkan. Makan es krim,
tertarik melihat adik kecil makan es krim, dan membelikan adik kita es krim –
mana yang sebenarnya paling membahagiakan...?
Ketiga-tiganya melibatkan kita dan es krim.
Bedanya, ada kebahagiaan yang muncul karena orang lain dan ada kebahagiaan yang
bisa kita putuskan sendiri.
Bahagia tidak perlu menunggu diberi, bukan...?
Karena sejatinya, kita bisa menciptakannya sendiri. Dalam ilmu psikologi,
kebahagiaan itu terbagi menjadi tiga: physical happiness, emotional
happiness, dan spiritual happiness. Physical happiness hanya
terpenuhi ketika kita mendapatkan sesuatu: punya banyak uang, bisa beli tas
baru, mengganti ponsel dengan merk lebih canggih, makan es krim dan sebagainya.
Emotional happiness, bahagia yang dirasakan karena pengaruh kebahagiaan
dari orang lain: senang ketika Ayah menerima gaji yang banyak, terharu melihat
saudara menikah, gemas melihat adik kecil yang baru pertama kali makan es
krim.... Terakhir, spiritual happiness. Kebahagiaan yang nyaris tanpa
definisi; bisa kita ciptakan sendiri dan memberi arti lebih luas tentang
bahagia itu sendiri: mentraktir seseorang makan es krim misalnya. Lucu memang –
uang kita berkurang, tapi kita bahagia.
Jadi, mana yang lebih menyenangkan? Mendapat
gratisan atau memberi gratisan...?
Dalam banyak kisah, konon, sahabat Rasulullah
bernama ‘Usman bin Affan dikenal sebagai pria kaya-raya yang sangat dermawan.
Ia adalah pemimpin umat Islam keempat setelah kematian Rasullah Muhammad shollallohu
‘alaihi wasallam. Kedermawanannya dikisahkan dalam banyak rupa: membeli
sumur milik seorang Yahudi dalam perjalanan hijrah ke Madinah dan memberikan
airnya secara cuma-cuma kepada kaum muslimin; menanggung biaya peperangan;
menghibahkan ribuan karung gandum, minyak dan kismis kepada penduduk Makkah
yang kala itu dilanda kemarau panjang, dan banyak lagi kisah yang mengukir
namanya sebagai pria amat-sangat dermawan.
Juragan di Makkah ketika itu menawar untuk membeli
berkarung-karung gandumnya dengan harga dua kali lipat. Ditolak. Tiga kali
lipat. Ditolak juga. Lima kali lipat, masih saja ditolak. ‘Usman hanya
tersenyum dan mengatakan, “Semua ini sudah dibeli Tuhanku seharga sepuluh
kali lipat. Maka saksikanlah, semua ini aku berikan secara gratis untuk
kalian semua.”
Sebuah ketulusan yang mengagumkan. Betapa
keyakinannya pada Tuhan membuat ‘Usman mantap saja memberikan seluruh miliknya.
Ia memutuskan menjadikannya hibah dan bukan barang jual-beli. Ia melakukannya
– membuat keputusan untuk menciptakan kebahagiaan. Spiritual
happiness.
Tak perlu heran dengan orang-orang yang percaya
surga dan pahala. Sebanyak apa pun uang, harta, makanan yang dimiliki yang bisa
dibagi-bagi, mereka akan mengulurkannya tanpa berpikir dua kali. Kita melihat
orang-orang menyumbang di masjid, mendonasikan uangnya ke panti asuhan, membagi
hartanya untuk mereka yang membutuhkan, menyelamatkan orang-orang dari
kemiskinan dan rasa lapar....
Tidak perlu heran dengan zakat dan sedekah. Dengan
wakaf dan hibah. Menakjubkan mendengar kisah Suhail dan Sahl
mendermakan tanah mereka tanpa imbalan demi dibangunnya masjid pertama oleh
Rasulullah. Mengherankan, Ali dan Fatimah rela berpuasa berhari-hari demi
memberikan jatah makan mereka yang tidak seberapa kepada pengemis yang
kelaparan. Luar biasa mendengar penduduk
anshar Madinah antusias menampung muhajirin Makkah tinggal di
rumah-rumah mereka.
Dan akhirnya, memang, sekali lagi tak perlu
heran, kita pernah menjadi saksi para muslimin berjajar mengulurkan makanan
kepada para mujahid yang membela agama mereka di tanah air, beberapa
minggu silam. Sembari berseru memberi penyemangat, mereka laksana muslimin
Madinah yang dijuluki anshar – penolong — oleh Rasulullah. Mereka
memberikan apa saja yang dapat membantu; makanan, minuman, pakaian, bahkan
obat-obatan, gratis. Tanpa imbalan. Bukan teman, bukan saudara, dan
tidak ada ikatan darah sama sekali.
Ikhlas? Tentu. Bahagia?
Pasti. Sebuah atmosfer yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang percaya.
Tidak perlu merajuk pada orang lain, tapi memutuskan kebahagiannya sendiri.
Sekali lagi memang tak perlu heran. Kebahagiaan
jenis ini punya ruangnya sendiri. Anda pun dapat mencobanya.
Cobalah.