Minggu, 10 September 2017

GRATIS





Semua manusia mencintai kata “gratis”. Senang rasanya mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma. Hadiah, traktiran, apapun itu yang makna konotatifnya serupa dengan gratis, adalah kebaikan yang selalu punya tempat di hati siapa saja.

Bahagia? Tentu. Kita bisa merasakan lezatnya es krim – kita bahagia. Kita melihat adik kecil yang baru tumbuh gigi susunya sedang menjilat es krim dan wajahnya berkerut geli karena kedinginan –kita tertawa dan menjadi senang karenanya. Kita membelikan adik kita es krim karena berhasil mendapat nilai tertinggi di kelas – kita juga merasa bahagia.

Lalu, coba kita bandingkan. Makan es krim, tertarik melihat adik kecil makan es krim, dan membelikan adik kita es krim – mana yang sebenarnya paling membahagiakan...?

Ketiga-tiganya melibatkan kita dan es krim. Bedanya, ada kebahagiaan yang muncul karena orang lain dan ada kebahagiaan yang bisa kita putuskan sendiri.

Bahagia tidak perlu menunggu diberi, bukan...? Karena sejatinya, kita bisa menciptakannya sendiri. Dalam ilmu psikologi, kebahagiaan itu terbagi menjadi tiga: physical happiness, emotional happiness, dan spiritual happiness. Physical happiness hanya terpenuhi ketika kita mendapatkan sesuatu: punya banyak uang, bisa beli tas baru, mengganti ponsel dengan merk lebih canggih, makan es krim dan sebagainya. Emotional happiness, bahagia yang dirasakan karena pengaruh kebahagiaan dari orang lain: senang ketika Ayah menerima gaji yang banyak, terharu melihat saudara menikah, gemas melihat adik kecil yang baru pertama kali makan es krim.... Terakhir, spiritual happiness. Kebahagiaan yang nyaris tanpa definisi; bisa kita ciptakan sendiri dan memberi arti lebih luas tentang bahagia itu sendiri: mentraktir seseorang makan es krim misalnya. Lucu memang – uang kita berkurang, tapi kita bahagia.

Jadi, mana yang lebih menyenangkan? Mendapat gratisan atau memberi gratisan...?

Dalam banyak kisah, konon, sahabat Rasulullah bernama ‘Usman bin Affan dikenal sebagai pria kaya-raya yang sangat dermawan. Ia adalah pemimpin umat Islam keempat setelah kematian Rasullah Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Kedermawanannya dikisahkan dalam banyak rupa: membeli sumur milik seorang Yahudi dalam perjalanan hijrah ke Madinah dan memberikan airnya secara cuma-cuma kepada kaum muslimin; menanggung biaya peperangan; menghibahkan ribuan karung gandum, minyak dan kismis kepada penduduk Makkah yang kala itu dilanda kemarau panjang, dan banyak lagi kisah yang mengukir namanya sebagai pria amat-sangat dermawan.

Juragan di Makkah ketika itu menawar untuk membeli berkarung-karung gandumnya dengan harga dua kali lipat. Ditolak. Tiga kali lipat. Ditolak juga. Lima kali lipat, masih saja ditolak. ‘Usman hanya tersenyum dan mengatakan, “Semua ini sudah dibeli Tuhanku seharga sepuluh kali lipat. Maka saksikanlah, semua ini aku berikan secara gratis untuk kalian semua.”

Sebuah ketulusan yang mengagumkan. Betapa keyakinannya pada Tuhan membuat ‘Usman mantap saja memberikan seluruh miliknya. Ia memutuskan menjadikannya hibah dan bukan barang jual-beli. Ia melakukannya – membuat keputusan untuk menciptakan kebahagiaan. Spiritual happiness.

Tak perlu heran dengan orang-orang yang percaya surga dan pahala. Sebanyak apa pun uang, harta, makanan yang dimiliki yang bisa dibagi-bagi, mereka akan mengulurkannya tanpa berpikir dua kali. Kita melihat orang-orang menyumbang di masjid, mendonasikan uangnya ke panti asuhan, membagi hartanya untuk mereka yang membutuhkan, menyelamatkan orang-orang dari kemiskinan dan rasa lapar....

Tidak perlu heran dengan zakat dan sedekah. Dengan wakaf dan hibah. Menakjubkan mendengar kisah Suhail dan Sahl mendermakan tanah mereka tanpa imbalan demi dibangunnya masjid pertama oleh Rasulullah. Mengherankan, Ali dan Fatimah rela berpuasa berhari-hari demi memberikan jatah makan mereka yang tidak seberapa kepada pengemis yang kelaparan.  Luar biasa mendengar penduduk anshar Madinah antusias menampung muhajirin Makkah tinggal di rumah-rumah mereka.

Dan akhirnya, memang, sekali lagi tak perlu heran, kita pernah menjadi saksi para muslimin berjajar mengulurkan makanan kepada para mujahid yang membela agama mereka di tanah air, beberapa minggu silam. Sembari berseru memberi penyemangat, mereka laksana muslimin Madinah yang dijuluki anshar – penolong — oleh Rasulullah. Mereka memberikan apa saja yang dapat membantu; makanan, minuman, pakaian, bahkan obat-obatan, gratis. Tanpa imbalan. Bukan teman, bukan saudara, dan tidak ada ikatan darah sama sekali.

Ikhlas? Tentu. Bahagia? Pasti. Sebuah atmosfer yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang percaya. Tidak perlu merajuk pada orang lain, tapi memutuskan kebahagiannya sendiri.

Sekali lagi memang tak perlu heran. Kebahagiaan jenis ini punya ruangnya sendiri. Anda pun dapat mencobanya.

Cobalah.



KUTU







“Eh, ada kutu di rambutmu!”

Ada dua orang mengatakan hal ini kepadamu. Pertama, seorang teman dekat yang bicaranya sering ceplas-ceplos. Kedua, seseorang tak dikenal yang baru kamu jumpai di dalam kereta.

Tidak perlu mengecek kulit kepala karena ini hanya pengandaian. Tapi, kamu tetap boleh mengatakan amit-amit walaupun saya juga tidak sedang menyumpahi. Hehe....

Pada kejadian pertama, sangat mungkin kamu tampak terkejut dan berkata, “Benarkah?”, lalu buru-buru menghampiri cermin dan mengacak-acak rambutmu sendiri. Rasanya malu, tapi karena yang bicara adalah teman dekat sendiri, semuanya berjalan wajar. Bahkan bisa jadi, akhirnya, kamu akan meminta temanmu untuk tidak bercerita kepada siapa pun, atau justru meminta dia untuk membelikanmu obat kutu secara cuma-cuma.

Lain halnya dengan kejadian kedua. Seseorang yang tidak kamu kenal, tidak pernah berjabatan tangan denganmu, menyebutkan namanya atau sekadar berbasa-basi – hanya kebetulan duduk bersebelahan – tiba-tiba berseru, “Ada kutu di rambutmu!” Sangat mungkin jika reaksi kamu berikutnya adalah tampak terkejut, basa-basi bertanya,”Benarkah?”, kemudian mengusap rambutmu dengan salah tingkah. Meski tidak ada yang berkomentar, orang-orang mulai melirikmu dan menunjukkan ekspresi yang tidak ingin kamu perhatikan lebih jauh. Dalam hal ini, kamu tidak akan pernah berterimakasih atas informasi yang diberikan oleh orang di sebelahmu. Sial, bikin malu orang saja! Kamu mungkin akan merutuknya sepanjang perjalanan atau mendoakannya tertular kutuan. Jelas sekali orang itu hanya terkesan mempermalukanmu.

Saya tiba-tiba menangkap ilustrasi semacam itu. Bukan karena saya kutuan – saya rajin membersihkan rambut kepala – tapi karena di dunia ini, ada banyak sekali kutu yang menempel di kepala orang-orang dan menjadi bahan komentar dari orang lain. Padahal, sangat mungkin dia sendiri juga kutuan, karena toh, kutu bisa meloncat dari satu kepala ke kepala lain.

Apa artinya kutu? Kutu yang saya maksud adalah persepsi.

Setiap orang punya persepsi masing-masing. Setiap orang berhak memiliki ide, berpikir tentang sesuatu, lalu mengutarakan pendapatnya pada orang lain. Pendapat itu bisa jadi benar, bisa jadi salah, bahkan sangat mungkin untuk dikomentari atau justru dikritik pedas. Permasalahannya adalah, tidak semua orang dapat mengutarakan kritiknya – kita juga bisa menyebut kritikan sebagai pendapat yang berbeda, bukan? – dengan cara yang cerdas.

Kalau bicara pada teman dekat, kawan akrab, sahabat, bukan masalah jika masing-masing saling meledek dan mengatai habis-habisan. Sebuah sikap yang dapat dimaafkan. Toh, dengan kawan sendiri. Tidak ada maksud menjatuhkan. Justru yang terjadi, malah semakin mempererat hubungan. Saling lempar pendapat membuat mereka senang. Saling tertular kutu membuat mereka tertawa, lalu duduk mengular sambil metani rambut kawannya.

Lain halnya jika kritik yang tidak “cerdas” disampaikan oleh orang yang kenal saja tidak. Dengan enak sekali mengutarakan pendapat yang berbeda tanpa tedeng aling-aling; tidak pakai basa-basi, tidak pakai asah perasaan terlebih dahulu. Yang penting, isi kepalanya tersampaikan. Yang penting dia tahu bahwa pendapatnya salah dan sangkalan itulah yang benar. Dia berseru kamu punya kutu, lalu berusaha menghindar dengan menggeser posisi duduknya, atau justru terang-terangan berdiri menjauh.

Tidak heran lagi, dalam ranah media sosial, orang-orang begitu mudahnya mengutarakan isi kepala mereka. Banyak komentar bermunculan setiap kali isu besar merebak. Ada yang mendukung, menanggapi dengan lelucon, atau malah menentang habis-habisan. Ada yang pro, netral, ada juga yang kontra.


Sekarang, kita tidak heran lagi menemukan orang-orang berdebat di media sosial. Kebanyakan dari mereka justru orang-orang yang tidak saling mengenal. Hanya kebetulan tersekat menjadi dua kubu. Entah si A mendukung parpol X dan si B mendukung parpol Y. Entah si C nge-fans dan doyan nonton vlog artis youtube P dan si D menganggap artis youtube itu hanya merusak moral bangsa. Entah si E yang tergila-gila dengan klub sepak bola M dan F jatuh cinta dengan klub sepak bola N. Atau G yang setuju Bella Swan bersanding dengan Edward Cullen, sedangkan H maunya Bella memilih werewolf  Jacob Black. Ruwet. Seolah-olah, hal sekecil apa pun di dunia ini bisa diperdebatkan.

Sebenarnya, terserah mau pilih yang mana. Tapi kalau bisa, pilih cara yang cerdas saja. Menanggapi tanpa menggurui, menolak tanpa mencela.

Nah, kata siapa kita tidak punya kutu? Kita sebenarnya juga sudah tertular kutu. Permasalahannya, tertular oleh siapa, kita tidak tahu. Daripada menuding orang lain, sudahlah, kita metani saja. Basmi kutunya bersama-sama sambil tertawa.

SKRIPSI

Udah seneng-seneng nyampe bab 3, eehh harus ngulang lagi dari awal. Salah teori! Harusnya pakai yang ini, kenapa pakai yang itu? Satu kesalahan "kecil", tapi harus mengubah hampir semua bagian. Fine. Gue harus terjun lagi ke medan perang!!

Yahh gini inilah rasanya jadi mahasiswa semester akhir. "Cuma" ngerjain skripsi, tapi rasanya kayak... seluruh hidupmu kesirep sama dia (ngerti kan kesirep? Kesedot, ketarik... ya semacam itulah). Kamu bakal ngerasain situasi yang bibirmu sendiri sampai speechless buat nyeritainnya; karena saking rumitnya, peliknya, dan geregetannya. Uhhhh skripsi.

Nunggu dosen di depan kantor jurusan, bersaing sama anak-anak lain yang dosbingnya samaan. Kadang udah janjian jam sekian, tapi bapak/ibu dosennya lagi ada urusan lain dan bimbingan harus ketunda. Belom lagi kalau orang rumah udah nanyain, "Udah sampai bab berapa? Kapan wisuda?" Heeergghhh...

Saking ngebetnya pengen segera sidang dan wisuda, sebagian mahasiswa udah nyiapin aja tuh halaman motto dan persembahan, thanks to blablabla... katanya buat motivasi. Iya, sih. Aku juga begitu. Dan emang cukup ngaruh buat nyemangatin skripsian.

Kadang, jadi mahasiswa semester akhir, kita jadi banyak mikir; habis lulus mau ngapain? Kalau udah wisuda, trus apa lagi? Lanjur S2? Kerja? Menikah? Iya kalau jodohnya cepet dateng, kalau nggak kan harus nyari kesibukan lain.

Ah... jadi dewasa itu berat. Pantas saja, orang tua kita banyak memberi nasihat ini dan itu. Nasihat yang sering banget kita bantah waktu masih jadi ABG labil. Ah, orang tua itu cerewet! Nggak asik! Pikir kita waktu itu. Padahal, mereka yang punya pengalaman jauh lebih banyak. Udah nelan asam-manis kehidupan, dan otomatis udah ngerti lah jalannya hidup itu kayak gimana.

Sekarang, kalau dipikir-pikir lagi, enak ya jadi anak-anak. Nggak perlu pusing mikirin ini-itu. Jadi dewasa itu berat. Tapi, jadi anak-anak itu menyenangkan. Apa aja dibawa asik. Taunya main, jajan, makan, tidur....

Hmmh... jadi banyak belajar. Dan sekarang, sudah berada di tahap dewasa, harusnya lebih bisa mengatur diri sendiri.

Eh. Skripsi. Duh, udah ah, mau tempur lagi. Semangaattt...!!!!

Rabu, 06 September 2017

Puisi - HILANG






Apa yang kita bicarakan hanya tentang luka
dan musim-musim berair yang hitam
Tidak ada pelangi bahkan di senja selepas hujan
di mana kita pernah memagut janji, di tempat yang sama

Kau pecah berkeping-keping di depan mataku
Samar dan hilang perlahan tanpa menyisa jejak
Lalu bertahun setelahnya, kau kembali
dalam wujud yang tak lagi bisa kukenali

Musim-musim berganti
Tapi segala waktu seakan bersepakat memberi warna
bahwa jika kau ada di depanku, di pikirku, di mimpiku
segala yang merupa berubah hitam
Pekat, tak terlihat

Kau hilang
Aku kehilangan bayangan


 Semarang, 2017