Senin, 13 April 2020

TEKS DRAMA

Drama merupakan salah satu jenis karya sastra. Seperti halnya karya sastra lainnya, drama juga memiliki unsur-unsur yang membangunnya. Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur tersebut, coba kamu baca teks berikut.


MENYONTEK



Pagi itu, suasana kelas terlihat lebih sepi dari biasanya. Anak-anak sibuk dengan buku IPA-nya masing-masing. Gilang yang baru datang, sambil menguap, langsung duduk di kursinya dan menyenggol lengan Arya.

Gilang : “Eh, pada kenapa, nih? Tumben rajin baca buku.”

Arya : “Hari ini, kan ada ulangan IPA.”

Gilang : (Melongo) “Hah? Ulangan?? Kok aku nggak tahu, sih?” (Melihat jam dinding dan jadi bertambah panik) “Lima menit lagi masuk?? Aduuhh… gimana ini? Mana aku belum belajar, lagi!”

Arya : “Pasti semalam kamu keasyikan main game. Doni, kan sudah mengingatkan di grup kelas kalau hari ini ada ulangan.” (Kembali sibuk dengan bukunya)

Gilang : “Ah, gimana, dong?” (Diam sebentar, lalu mengeluarkan buku LKS, menyobek kertas buku tulis dan mengambil pulpen)

Arya : “Mau ngapain?”

Gilang : “Sst, udah, diam aja.” (Menyalin beberapa catatan dari LKS ke kertas)

Arya : “Heh, kamu mau nyontek, ya?”

Gilang : “Sst… jangan bilang siapa-siapa, ya. Nanti kalau kamu minta sontekan, aku kasih, kok.”

Arya : “Dosa, tahu!”


Bel tanda masuk berbunyi nyaring. Gilang mempercepat gerakan menulisnya. Tidak lama kemudian, Bu Ratna, guru IPA, masuk kelas.

Bu Ratna : “Selamat pagi, anak-anak…!”

Murid-murid : “Selamat pagi, Bu…!”


Anak-anak berdoa bersama, seperti biasanya. Lalu, Bu Ratna meminta seisi kelas mengumpulkan LKS dan menyiapkan selembar kertas untuk ulangan.

Soal ulangan IPA mulai dibagikan. Anak-anak mengerjakan dengan serius tanpa suara. Sementara itu, dari tempat duduknya, Gilang mulai berkeringat dingin. Takut-takut dia membuka lembaran kertas sontekannya di bawah meja.


Gilang : (Membatin) “Duh, bahaya kalau sampai ketahuan. Mana soalnya susah-susah begini. Eh, tadi kayaknya… aku sempat mencatat yang ini.”

Gilang terus sibuk mengerjakan soal dengan sontekannya. Arya yang duduk di sampingnya hanya geleng-geleng kepala.

Saat sedang sibuk menyalin jawaban, tiba-tiba sebuah penggaris panjang diketuk-ketukkan di atas meja Gilang. Dia terkejut mendengar suara deheman yang dikenalnya. Bu Ratna tahu-tahu sudah berdiri di hadapan, melihat Gilang sedang membuka lipatan kertas contekan. Gilang buru-buru memasukkkan sontekan itu ke laci meja.

Bu Ratna : “Itu apa, Gilang? Bawa kemari!” (Mengulurkan tangan, meminta kertas sontekan Gilang)

Gilang : “Ee… anu, Bu. Itu… ee….”

Bu Ratna : “Tidak usah anu-itu, anu-itu. Bawa ke sini, cepat!” (Tegas)

Gilang : “ (Takut-takut menyerahkan kertas contekan)

Bu Ratna : “Apa ini? Sontekan?”

Gilang : (Tidak menjawab dan terus menunduk)

Bu Ratna : “Kok berani-beraninya kamu menyontek saat ulangan? Semalam kamu ngapain aja?”

Gilang : “Ee… anu, Bu… main game.”

Bu Ratna : “Ohh… main game. Jadi game lebih penting dari belajar, ya? Silakan kalau kamu mau melanjutkan main game. Daripada pusing-pusing mikir ulangan. Boleh kamu lanjutkan game-nya di luar kelas.”

Gilang : “Tapi, Bu….”

Bu Ratna : “Silakan keluar kelas!”


Gilang tidak bisa membantah. Sambil menunduk karena malu, dia berjalan keluar kelas. Pintu kelas ditutup. Saat di luar, Gilang tidak sengaja berpapasan dengan guru BK.

Gilang : “Waduh!”

Guru BK : “Hei, kenapa kamu ada di luar?”

Gilang : “Ee… disuruh keluar sama Bu Ratna, Bu.”

Guru BK : “Kenapa disuruh keluar?”

Gilang : “Saya… menyontek, Bu.”

Guru BK : “Loh, gimana toh? Kalau begitu, ayo ikut Ibu ke ruang BK.”


Gilang semakin berkeringat. Bisa panjang urusannya kalau sudah dengan BK.

Hari itu, Gilang dihukum membersihkan toilet kelas dan menulis di selembar kertas “Astaghfirullah… saya berjanji tidak akan menyontek lagi” sebanyak-banyaknya. Capek dan malu dengan hukuman yang diberikan, Gilang jadi kesal dengan dirinya sendiri yang tidak bisa mengatur waktu dengan baik.

*****


Nah, setelah membaca teks tersebut, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan berikut!

1. Apa tema dari cerita tersebut?

2. Menurutmu, bagaimana watak/karakter tokoh Gilang dan Arya? Jelaskan!

3. Di mana dan kapan peristiwa tersebut terjadi?

4. Seperti apa suasana yang tergambar dalam cerita?

5. Mengapa Gilang menyontek saat ulangan IPA?

6. Seandainya kamu jadi Arya, apa yang akan kamu lakukan?

7. Apa hukuman yang diberikan Bu Ratna terhadap Gilang?

8. Apa hukuman yang diberikan guru BK terhadap Gilang?

9. Apa amanat/pesan moral yang bisa kamu dapatkan dari cerita tersebut?

10. Coba kamu ceritakan kembali teks tersebut dalam bentuk rangkuman, minimal satu paragraf (percakapan tidak perlu dicantumkan).

TEKS DISKUSI

Perkembangan teknologi di bidang informasi yang begitu pesat, disadari atau tidak, telah membuat setiap masalah dan peristiwa begitu cepat diketahui oleh pembaca. Tak jarang, masalah dan peristiwa tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan pembaca. Sikap pro dan kontra tentang sebuah masalah sering kali disajikan dalam teks diskusi.

Perhatikan teks berikut.


Makan Mi Instan Dicampur Nasi




Mi instan termasuk salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia. Mi cepat saji ini sudah dimasak terlebih dahulu dan dicampur dengan minyak. Untuk menikmatinya, cukup dengan menambahkan air panas dan bumbu-bumbu yang sudah ada di dalam paketnya. Begitu praktis dan mudahnya mi instan ini disajikan. Bahkan, sering kali, mi instan ini disajikan dengan dicampur nasi sebagai pengganti sayur.

Secara medis, mengonsumsi mi instan yang dicampur dengan nasi dapat meningkatkan risiko diabetes. Meskipun mi instan menawarkan cita rasa yang menggugah selera makan, kandungan nutrisi di dalamnya hampir tidak ada. Mi instan justru mengandung berbagai jenis senyawa yang bisa mengakibatkan munculnya penyakit diabetes.

Mi instan juga mengandung lemak. Jenis senyawa tersebut akan meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan risiko diabetes. Obesitas merupakan salah satu faktor pemicu munculnya diabetes. Meningkatnya kadar lemak dalam tubuh kita secara drastis akan menyebabkan resistensi insulin. Padahal, insulin sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk mengontrol jumlah gula dalam darah. Oleh karena itu, lebih baik menghindari mi instan yang dicampur dengan nasi daripada hanya mengikuti selera makan yang akan berdampak serius terhadap kesehatan tubuh.

Meskipun demikian, banyak kalangan yang berpendapat bahwa tak masalah apabila makan mi dicampur nasi karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia yang menganggap nasi sebagai makanan pokok. Selain praktis, mi instan juga bisa menjadi pengganti sayur atau lauk-pauk yang bisa dicampur dengan nasi. Selain dapat menghilangkan rasa lapar, mi instan juga bisa menghemat waktu. Selama tidak dijadikan sebagai menu harian, mi instan bercampur nasi bisa dijadikan sebagai menu selingan sehingga tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan.

Kalau memang benar bahwa makan mi instan bercampur nasi memiliki risiko terhadap penyakit diabetes, kita memang perlu berhati-hati mengonsumsinya. Kalau hanya sesekali dikonsumsi sebagai selingan, mungkin risikonya tidak terlalu fatal. Namun, kalau terlalu sering, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan, kita harus menghindarinya. Lebih baik mencegah daripada mengobati.

(Dirangkum dari berbagai sumber)

*****


Nah, setelah membaca teks tersebut, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan berikut.

1. Topik apakah yang dibahas dalam teks tersebut?

2. Mengapa mi instan dikatakan cukup praktis dan mudah dalam mengonsumsinya?

3. Mengapa mi instan yang dicampur dengan nasi dapat meningkatkan risiko diabetes?

4. Mengapa obesitas dianggap sebagai salah satu faktor pemicu munculnya diabetes?

5. Mengapa masih banyak kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa mi yang dicampur dengan nasi tidak menimbulkan masalah?

6. Informasi apa yang kamu dapatkan dari teks tersebut? Coba ceritakan kembali isi teks dalam bentuk rangkuman, minimal satu paragraf!

Rabu, 27 Desember 2017

KEKUATAN SUPER: TERBANG DAN MENYELAM



Bicara soal kekuatan super, aku pengen banget punya dua macam kekuatan: pertama, bisa terbang; kedua, bisa bernapas di dalam air.

Aku suka banget kalau pas lagi tidur trus dapet mimpi lagi terbang, atau lagi berenang di dalam air tanpa kehabisan napas. Aku suka banget sama sensasi melayang-layang yang aku rasain di mimpi itu. Sukaaaa banget. Sampai sering mengkhayal, pasti menyenangkan punya dua kekuatan super semacam itu, hehe....

Hal yang paling aku suka waktu dibonceng temen naik motor adalah menatap ke langit. Orang mungkin bakal mandang aku keheranan, ini anak kenapa dari tadi ngedongak terus? Kenapa? Karena di saat motor lagi melaju kencang dan aku menatap ke langit, rasanya kayak lagi terbang. Yang kamu lihat bukan jalanan, bukan deretan bangunan, bukan kendaraan lain yang berlalu lalang; tapi awan, pepohonan rindang di sisi kanan-kiri jalan, burung-burung terbang, dan birunya langit yang nggak terbatas. Kamu kayak lagi mengitari angkasa. Rasanya enak banget. Rasanya nyaman banget, dan kamu harus coba. ^^

Aku selalu tersenyum tiap kali bangun tidur setelah dapet mimpi bisa menyelam. Kenyataannya, aku belum bisa berenang, tapi aku suka dan pengen bisa berenang. Makanya, dapet mimpi kayak gitu tuh anugerah banget buat aku. Kamu ngerasain asiknya "melayang" di dalam air, dan hebatnya lagi, kamu nggak perlu susah-susah mencuri napas. Jadi kayak mermaid gitu ya, hahaha.... Tapi asik bangetttt...!! ^

Dan aku jadi suka banget nonton animasi Ghibli, Ponyo. Dunia bawah airnyaaa sukaaa bangett!! Apalagi pas kotanya terendam banjir, tapi banjirnya bersih banget gitu. Sampai-sampai jalan raya dipake buat berenang ikan-ikan.... duh, itu salah satu imajinasi terindahku yang digambarkan dengan sangat cantik oleh studio Ghibli. Syukkaaakk...! ^^ 



Aku suka banget sama tempat yang luas seperti tanpa batas; kayak langit dan lautan. Hhh... kalau udah berimajinasi, suka lupa kalau di kenyataannya khayalanku ini kadang kelewat batas. Fyuh! -_- *tapi pengen syumvah*

Kalau kamu, pengen punya kekuatan super apa? :)




Selasa, 26 Desember 2017

NGOMONG SENDIRI, ANEHKAH?




Aku termasuk orang yang suka ngomong sendiri. Mungkin di mata orang, hal ini terkesan aneh. Lagi asyik ngomong sendiri, terus tiba-tiba ada yang memperhatikan, bikin aku jadi salah tingkah dan malu banget, haha....

Pernah kubaca di salah satu situs internet, ngomong sendiri adalah salah satu tanda orang jenius. Yaa... aku nggak mau bilang kalau aku ini jenius, sih.... Cuma mau berbagi, apa yang orang kayak aku rasakan ketika sedang ngomong sendiri.

Gini. Aku adalah orang yang imajinatif. Tipe kepribadianku salah satunya adalah intuitif. Ada banyaaaakkk sekali pikiran yang berkeliaran di dalam kepala: ide-ide, masalah-masalah, khayalan tingkat tinggi, impian-impian untuk masa depan....

Yang paling sering bikin aku ngomong sendiri adalah "skenario" yang berjalan di kepala. Jadi, aku itu sering banget ngebayangin main film atau sinetron. Aku menciptakan banyak sekali tokoh dengan aneka karakternya di dalam kepala. Kadang jadi protagonis, kadang antagonis, kadang jadi cewek, kadang jadi cowok.... Aku bisa jadi apa aja dan siapa aja. Nah, skenario yang kuciptakan sendiri itulah yang kemudian menuntun aku buat menciptakan dialog, dan dialog itu secara otomatis tersalurkan lewat lisan. Jadi, apa yang aku ucapkan ketika ngomong sendiri, nggak lain adalah cerita dan ide-ide yang menetas di dalam pikiran.

Aku rasa, ngomong sendiri itu nggak aneh. Manusia dibekali Tuhan (Allah) dengan bakat dan kepribadian yang berbeda-beda. Adakalanya, kepribadian itu mewujud dengan cara yang dipandang "aneh" oleh sebagian orang. Hmmh, aku nggak suka kata "aneh". Lebih senang kusebut ini dengan kata "unik".


So, buat kalian yang suka ngomong sendiri, atau punya temen yang suka ngomong sendiri, percayalah, itu adalah suatu hal yang unik, berbeda, dan nggak semua orang punya. Ngomong sendiri tuh nggak aneh, nggak gila. Hanya saja, kamu punya kelebihan yang nggak semua orang bisa memahaminya. :)


Oh iya, satu lagi. Aku dengar-dengar, orang yang suka ngomong sendiri bisa lebih mudah mewujudkan mimpinya, loh. Soalnya, dia ngebayangin mimpi-mimpinya, kemudian memosisikan dirinya seolah-olah mimpi itu sudah terwujud. Kayak aku, pengen banget main film, trus bayangin lagi adu akting. Akhirnya, aku jadi ngomong-ngomong sendiri. Nah, semakin "nyata" bayangan mimpi-mimpi kita, semakin mudahlah buat kita mewujukan mimpi-mimpi itu. Yahh... bisa dibilang, semacam menuliskan mimpi, lah. Kalau ditulis, kita jadi ingat buat mewujudkan. Nah, kalau di-"dialog"-kan, kita jadi INGIN buat mewujudkan.

Halo, siapa di sini yang suka ngomong sendiri? Aku doakan, cita-cita kalian bisa segera terwujud! :)

Minggu, 10 September 2017

GRATIS





Semua manusia mencintai kata “gratis”. Senang rasanya mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma. Hadiah, traktiran, apapun itu yang makna konotatifnya serupa dengan gratis, adalah kebaikan yang selalu punya tempat di hati siapa saja.

Bahagia? Tentu. Kita bisa merasakan lezatnya es krim – kita bahagia. Kita melihat adik kecil yang baru tumbuh gigi susunya sedang menjilat es krim dan wajahnya berkerut geli karena kedinginan –kita tertawa dan menjadi senang karenanya. Kita membelikan adik kita es krim karena berhasil mendapat nilai tertinggi di kelas – kita juga merasa bahagia.

Lalu, coba kita bandingkan. Makan es krim, tertarik melihat adik kecil makan es krim, dan membelikan adik kita es krim – mana yang sebenarnya paling membahagiakan...?

Ketiga-tiganya melibatkan kita dan es krim. Bedanya, ada kebahagiaan yang muncul karena orang lain dan ada kebahagiaan yang bisa kita putuskan sendiri.

Bahagia tidak perlu menunggu diberi, bukan...? Karena sejatinya, kita bisa menciptakannya sendiri. Dalam ilmu psikologi, kebahagiaan itu terbagi menjadi tiga: physical happiness, emotional happiness, dan spiritual happiness. Physical happiness hanya terpenuhi ketika kita mendapatkan sesuatu: punya banyak uang, bisa beli tas baru, mengganti ponsel dengan merk lebih canggih, makan es krim dan sebagainya. Emotional happiness, bahagia yang dirasakan karena pengaruh kebahagiaan dari orang lain: senang ketika Ayah menerima gaji yang banyak, terharu melihat saudara menikah, gemas melihat adik kecil yang baru pertama kali makan es krim.... Terakhir, spiritual happiness. Kebahagiaan yang nyaris tanpa definisi; bisa kita ciptakan sendiri dan memberi arti lebih luas tentang bahagia itu sendiri: mentraktir seseorang makan es krim misalnya. Lucu memang – uang kita berkurang, tapi kita bahagia.

Jadi, mana yang lebih menyenangkan? Mendapat gratisan atau memberi gratisan...?

Dalam banyak kisah, konon, sahabat Rasulullah bernama ‘Usman bin Affan dikenal sebagai pria kaya-raya yang sangat dermawan. Ia adalah pemimpin umat Islam keempat setelah kematian Rasullah Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Kedermawanannya dikisahkan dalam banyak rupa: membeli sumur milik seorang Yahudi dalam perjalanan hijrah ke Madinah dan memberikan airnya secara cuma-cuma kepada kaum muslimin; menanggung biaya peperangan; menghibahkan ribuan karung gandum, minyak dan kismis kepada penduduk Makkah yang kala itu dilanda kemarau panjang, dan banyak lagi kisah yang mengukir namanya sebagai pria amat-sangat dermawan.

Juragan di Makkah ketika itu menawar untuk membeli berkarung-karung gandumnya dengan harga dua kali lipat. Ditolak. Tiga kali lipat. Ditolak juga. Lima kali lipat, masih saja ditolak. ‘Usman hanya tersenyum dan mengatakan, “Semua ini sudah dibeli Tuhanku seharga sepuluh kali lipat. Maka saksikanlah, semua ini aku berikan secara gratis untuk kalian semua.”

Sebuah ketulusan yang mengagumkan. Betapa keyakinannya pada Tuhan membuat ‘Usman mantap saja memberikan seluruh miliknya. Ia memutuskan menjadikannya hibah dan bukan barang jual-beli. Ia melakukannya – membuat keputusan untuk menciptakan kebahagiaan. Spiritual happiness.

Tak perlu heran dengan orang-orang yang percaya surga dan pahala. Sebanyak apa pun uang, harta, makanan yang dimiliki yang bisa dibagi-bagi, mereka akan mengulurkannya tanpa berpikir dua kali. Kita melihat orang-orang menyumbang di masjid, mendonasikan uangnya ke panti asuhan, membagi hartanya untuk mereka yang membutuhkan, menyelamatkan orang-orang dari kemiskinan dan rasa lapar....

Tidak perlu heran dengan zakat dan sedekah. Dengan wakaf dan hibah. Menakjubkan mendengar kisah Suhail dan Sahl mendermakan tanah mereka tanpa imbalan demi dibangunnya masjid pertama oleh Rasulullah. Mengherankan, Ali dan Fatimah rela berpuasa berhari-hari demi memberikan jatah makan mereka yang tidak seberapa kepada pengemis yang kelaparan.  Luar biasa mendengar penduduk anshar Madinah antusias menampung muhajirin Makkah tinggal di rumah-rumah mereka.

Dan akhirnya, memang, sekali lagi tak perlu heran, kita pernah menjadi saksi para muslimin berjajar mengulurkan makanan kepada para mujahid yang membela agama mereka di tanah air, beberapa minggu silam. Sembari berseru memberi penyemangat, mereka laksana muslimin Madinah yang dijuluki anshar – penolong — oleh Rasulullah. Mereka memberikan apa saja yang dapat membantu; makanan, minuman, pakaian, bahkan obat-obatan, gratis. Tanpa imbalan. Bukan teman, bukan saudara, dan tidak ada ikatan darah sama sekali.

Ikhlas? Tentu. Bahagia? Pasti. Sebuah atmosfer yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang percaya. Tidak perlu merajuk pada orang lain, tapi memutuskan kebahagiannya sendiri.

Sekali lagi memang tak perlu heran. Kebahagiaan jenis ini punya ruangnya sendiri. Anda pun dapat mencobanya.

Cobalah.



KUTU







“Eh, ada kutu di rambutmu!”

Ada dua orang mengatakan hal ini kepadamu. Pertama, seorang teman dekat yang bicaranya sering ceplas-ceplos. Kedua, seseorang tak dikenal yang baru kamu jumpai di dalam kereta.

Tidak perlu mengecek kulit kepala karena ini hanya pengandaian. Tapi, kamu tetap boleh mengatakan amit-amit walaupun saya juga tidak sedang menyumpahi. Hehe....

Pada kejadian pertama, sangat mungkin kamu tampak terkejut dan berkata, “Benarkah?”, lalu buru-buru menghampiri cermin dan mengacak-acak rambutmu sendiri. Rasanya malu, tapi karena yang bicara adalah teman dekat sendiri, semuanya berjalan wajar. Bahkan bisa jadi, akhirnya, kamu akan meminta temanmu untuk tidak bercerita kepada siapa pun, atau justru meminta dia untuk membelikanmu obat kutu secara cuma-cuma.

Lain halnya dengan kejadian kedua. Seseorang yang tidak kamu kenal, tidak pernah berjabatan tangan denganmu, menyebutkan namanya atau sekadar berbasa-basi – hanya kebetulan duduk bersebelahan – tiba-tiba berseru, “Ada kutu di rambutmu!” Sangat mungkin jika reaksi kamu berikutnya adalah tampak terkejut, basa-basi bertanya,”Benarkah?”, kemudian mengusap rambutmu dengan salah tingkah. Meski tidak ada yang berkomentar, orang-orang mulai melirikmu dan menunjukkan ekspresi yang tidak ingin kamu perhatikan lebih jauh. Dalam hal ini, kamu tidak akan pernah berterimakasih atas informasi yang diberikan oleh orang di sebelahmu. Sial, bikin malu orang saja! Kamu mungkin akan merutuknya sepanjang perjalanan atau mendoakannya tertular kutuan. Jelas sekali orang itu hanya terkesan mempermalukanmu.

Saya tiba-tiba menangkap ilustrasi semacam itu. Bukan karena saya kutuan – saya rajin membersihkan rambut kepala – tapi karena di dunia ini, ada banyak sekali kutu yang menempel di kepala orang-orang dan menjadi bahan komentar dari orang lain. Padahal, sangat mungkin dia sendiri juga kutuan, karena toh, kutu bisa meloncat dari satu kepala ke kepala lain.

Apa artinya kutu? Kutu yang saya maksud adalah persepsi.

Setiap orang punya persepsi masing-masing. Setiap orang berhak memiliki ide, berpikir tentang sesuatu, lalu mengutarakan pendapatnya pada orang lain. Pendapat itu bisa jadi benar, bisa jadi salah, bahkan sangat mungkin untuk dikomentari atau justru dikritik pedas. Permasalahannya adalah, tidak semua orang dapat mengutarakan kritiknya – kita juga bisa menyebut kritikan sebagai pendapat yang berbeda, bukan? – dengan cara yang cerdas.

Kalau bicara pada teman dekat, kawan akrab, sahabat, bukan masalah jika masing-masing saling meledek dan mengatai habis-habisan. Sebuah sikap yang dapat dimaafkan. Toh, dengan kawan sendiri. Tidak ada maksud menjatuhkan. Justru yang terjadi, malah semakin mempererat hubungan. Saling lempar pendapat membuat mereka senang. Saling tertular kutu membuat mereka tertawa, lalu duduk mengular sambil metani rambut kawannya.

Lain halnya jika kritik yang tidak “cerdas” disampaikan oleh orang yang kenal saja tidak. Dengan enak sekali mengutarakan pendapat yang berbeda tanpa tedeng aling-aling; tidak pakai basa-basi, tidak pakai asah perasaan terlebih dahulu. Yang penting, isi kepalanya tersampaikan. Yang penting dia tahu bahwa pendapatnya salah dan sangkalan itulah yang benar. Dia berseru kamu punya kutu, lalu berusaha menghindar dengan menggeser posisi duduknya, atau justru terang-terangan berdiri menjauh.

Tidak heran lagi, dalam ranah media sosial, orang-orang begitu mudahnya mengutarakan isi kepala mereka. Banyak komentar bermunculan setiap kali isu besar merebak. Ada yang mendukung, menanggapi dengan lelucon, atau malah menentang habis-habisan. Ada yang pro, netral, ada juga yang kontra.


Sekarang, kita tidak heran lagi menemukan orang-orang berdebat di media sosial. Kebanyakan dari mereka justru orang-orang yang tidak saling mengenal. Hanya kebetulan tersekat menjadi dua kubu. Entah si A mendukung parpol X dan si B mendukung parpol Y. Entah si C nge-fans dan doyan nonton vlog artis youtube P dan si D menganggap artis youtube itu hanya merusak moral bangsa. Entah si E yang tergila-gila dengan klub sepak bola M dan F jatuh cinta dengan klub sepak bola N. Atau G yang setuju Bella Swan bersanding dengan Edward Cullen, sedangkan H maunya Bella memilih werewolf  Jacob Black. Ruwet. Seolah-olah, hal sekecil apa pun di dunia ini bisa diperdebatkan.

Sebenarnya, terserah mau pilih yang mana. Tapi kalau bisa, pilih cara yang cerdas saja. Menanggapi tanpa menggurui, menolak tanpa mencela.

Nah, kata siapa kita tidak punya kutu? Kita sebenarnya juga sudah tertular kutu. Permasalahannya, tertular oleh siapa, kita tidak tahu. Daripada menuding orang lain, sudahlah, kita metani saja. Basmi kutunya bersama-sama sambil tertawa.