Kamis, 13 Juli 2017

SURAT UNTUK IBUK









Assalamu’alaikum wr. wb…. 

Jauh di tanah rantau bikin aku kangen masakan Ibuk. Kemarin-kemarin masih sempat makan bersama. Masakan Ibuk selalu enak. Ibuk paling tahu yang aku suka. Rasa-rasanya tiap balik ke rantauan, pengen bungkus masakan Ibuk banyak-banyak. Ibuk selalu menawarkan, tapi aku ndak mau. Berat. Males bawanya, hehe….

Buk, doakan anakmu ya… yang saat ini sedang berjuang mengerjakan skripsinya. Kalau dipikir, rasanya berat. Tapi… bener kata Ibuk, “Yo ojo dipikir… dikerja’ke wae.” Kalau dikerjakan, ternyata ndak sesusah itu.

Kangen… baru beberapa hari balik Semarang, sudah pengen pulang ke Kudus lagi. Jaraknya dekat, sih. Kalau mau pulang, tinggal naik bus, dua-tiga jam juga sudah sampai rumah. Tapi… kalau keseringan pulang, nanti gimana skripsiannya? Hh… minta doa yang banyak nggih, Buk… benar-benar harus diseriusi. Ibuk sama Bapak pengen lihat aku cepat wisuda toh? Bismillah… aku perjuangkan. Nanti kalau aku wisuda, ajak sekalian Mbak, Mas, Adik, ponakan, dan Simbah ya… biar ramai. Hehehe…. 

Ndak nyangka nggih, Buk, sekarang usiaku sudah 22 tahun. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Aku lho masih ingat, waktu kecil dulu suka sekali main pasaran. Pas Ibuk pulang dari mengajar, aku suka menggoda Ibuk, “Mau dimasakin apa, Buk?” Aku buat “kue-kuean” dari adonan tanah dicampur air. Pernah juga masak beneran di rumah tetangga. Metik bayam, nyari keong… terus dimasak ramai-ramai bersama teman.

Aku ingat, masa kecil dulu aku ringkih sekali. Gampang sakit-sakitan. Ibuk kalau baca surat ini jadi sedih ndak ya…? Dulu, aku rutin ke dokter gigi karena gigiku berlubang, sakit. Mungkin karena kebanyakan makan wafer cokelat. Suka sekali aku sama wafer cokelat dulu. Hadiah paling membahagiakan tiap kali aku naik peringkat bacaan iqro-nya.

Lalu, pernah juga aku sakit gejala TBC hampir satu tahun, entah kelas 2 atau 3 – aku lupa. Badanku sampai keciil sekali. Tiap malam batuk-batuk sampai keringatan. Aku nangis dibawa ke rumah sakit, diambil darahnya. Mau rontgen paru-paru juga ndak mau. Takut. Jangan-jangan rasanya sakit juga. Padahal, rontgen, kan ndak jauh beda sama foto ya, Buk? Hehe….

Tapi, aku di masa kecil juga berprestasi, ya ndak, Buk? Selalu rangking 3 besar. Ini juga karena Ibuk dan Bapak selalu menyemangati. Sakit pun masih bisa dapat rangking tinggi. Aku ndak bangga sama diriku sendiri. Justru, aku bangga punya orang tua seperti Ibuk dan Bapak.

Ketika aku sudah dewasa… pernah suatu ketika Ibuk cerita kepadaku –  Ibuk masih ingat? Kata Ibuk, waktu aku, Mbak dan Mas masih kecil dulu, hidup kita susah. Aku ndak ngerti artinya susah, karena masa kecilku ya… sama seperti anak kecil lainnya – dibelikan mainan, dolan ke sana-kemari… ternyata, Ibuk dan Bapak punya banyak “masalah” waktu itu.

Aku pernah merengek minta dibelikan sepeda, iya kan, Buk? Karena waktu itu, teman mainku sudah punya sepeda. Aku iri, kepengen punya juga. Aku sampai nangis-nangis minta dibelikan. Ibuk berusaha menjelaskan kalau Ibuk sedang ndak punya uang, tapi – namanya anak kecil – aku nggak mau dengar. Pokoknya mau sepeda! Ya sudah, Ibuk mengiyakan saja. Dengan catatan , aku harus tambah rajin baca Al-Qur’an.

Duh, kalau ingat itu… rasanya jadi sedih. Rasanya, kecil-kecil kok sudah “durhaka”. Ya aku mana paham… hehe, ngapuntene nggih, Buk….

Alhamdulillah… ternyata, tanpa disangka-sangka, ada kawan baik Ibuk yang memberikan sepeda secara cuma-cuma. Wuahh… sudah bisa dibayangkan bagaimana senangnya perasaan Ibuk waktu itu. Akhirnya, yang dimaui anaknya bisa keturutan. Sepeda itu akhirnya buat aku… aku pakai sekolah, aku pakai kemana-mana. Senang ya, Buk… tapi, sebesar-besarnya rasa senangku, pasti lebih besaran rasa senang Ibuk. Katanya, anak yang bahagia membuat orang tua merasa jauh lebih bahagia.

Kata Ibuk, zaman Mbak dan Mas masih kecil (mungkin aku belum lahir), Ibuk kesulitan beli susu. Susunya habis buat seminggu karena ngopeni dua anak kecil sekaligus. Hh… entah bagaimana Ibuk dan Bapak mencari uang saat itu. Sulit pasti. Aku ndak berani tanya lebih jauh lagi. Takut nangis….

Ibuk, kalau Ibuk baca surat ini, Ibuk ndak bakalan nangis, kan…? Jangan nangis, Buk… in syaa Allah, ke depannya nanti, hidup kita sekeluarga bisa bahagia.

Mbak dan Mas sudah menikah. Sekarang, aku jadi anak tertua di rumah, jadi panutan buat adik-adik. Tapi ya… Ibuk dan Bapak harus menunggu aku wisuda dulu. Doakan nggih, Buk, Pak… supaya semuanya dilancarkan Allah.

Nanti kalau aku sudah lulus, aku bakalan kerja di rumah saja. Aku ndak jadi kepengen S2 ke luar negeri. Ndak jadi cari kerjaan jauh-jauh. Takut Ibuk dan Bapak jadi kesepian. Cukuplah empat tahun merantau di kota orang. Lulus nanti tinggal mengabdi di tanah kelahiran sendiri.

Buk, Pak… aku sejujurnya ndak terbiasa mengungkapkan perasaan. Ibuk ingat ndak, dulu aku pernah ngado Ibuk wafer cokelat. Ternyata, Ibuk juga suka wafer cokelat, jadi aku belikan khusus buat Ibuk. Ibuk senang bukan main. Itu tanda sayang dari aku… maaf belum bisa lebih. Dan maaf, aku ndak pernah bilang, kalau sebenarnya, aku sayaaang banget sama Ibuk dan Bapak.

Rasa-rasanya, bilang terima kasih saja ndak cukup. Mau kasih sesuatu, tapi aku belum kerja. Belum punya penghasilan. Yahh… malu juga nulis kayak gini, hehe….

Tapi, aku janji. Suatu saat nanti, aku akan buat Ibuk dan Bapak merasa bangga. Akan kukejar cita-citaku dan mewujudkan cita-cita Bapak dan Ibuk. Pengen lihat aku sukses toh? Doakan terus nggih… karena sungguh, tanpa doa Ibuk dan Bapak, aku bukan siapa-siapa. Aku ndak mungkin sampai pada langkah sejauh ini.

Bismillah… in syaa Allah, Oktober nanti wisuda nggih…? Kita kumpul bareng, foto bareng….

Aku sayang Ibuk dan Bapak. Aku juga selalu doakan Ibuk dan Bapak. Sehat-sehat terus nggih… semoga Allah berikan umur panjang, rejeki berlimpah, dan hidup yang bahagia. Aamiin.... :) 

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Salam sayang,
anakmu di perantauan