Rabu, 02 Desember 2015

HAI

Hai.

Perpisahan ini menyakitkan. Belakangan, aku suka berpikir, kenapa kita dipertemukan. Terlalu asyik bersama, saling lempar canda dan tawa. Sakitnya memendam rindu, walau terpisah sekian hari saja. Dan sekarang....

... perjumpaan akan menjadi sesuatu bermakna entah. Entah kapan, entah dimana.

Cepat sekali ya waktu berlalu. Kadang aku ingin lupa kita pernah bersama. Tapi, tidak. Semua kenangan bersama kalian adalah indah, bagaimana mungkin aku melupakannya, dan kenapa harus lupa? Jika bisa, malah rasanya ingin kutulis kembali semuanya. Agar aku tak pernah lupa. Agar aku tahu kita pernah bahagia bersama.

Ingin kubilang jangan pergi.
Tapi kalau tak pergi, benar, untuk apa kalian masih di sini. Jalan kalian masih panjang, iya kan? Ada saatnya, kita harus menempuh jalan yang berbeda.

Yang pasti, rindu itu menyakitkan. Sementara di sini, aku harus rela mengucap salam perpisahan dengan senyum mengembang. Meyakinkan kalian bahwa di sini, kami akan baik-baik saja. Tetap semangat dan menjadi pribadi yang ceria.

Sungguh. Kami memang akan berusaha.

Tapi dengan dan tanpa kalian, keduanya punya rasa yang berbeda.

SATU HARI BERSAMA KALIAN

Aku berharap punya satu waktu bersama kalian. Tanpa gadget. Tanpa kamera selfie. Tanpa keinginan untuk memposting apapun.
Hanya kebersamaan. Sehari bepergian, bermain, bercanda, saling berbagi cerita.

Jangan jadi apatis. Terlihat sibuk dengan jari berkejaran di atas ponsel. Mengetik entah apa. Tersenyum sendiri, tertawa sendiri--sementara tepat di hadapan, ada orang yang harusnya lebih pantas diajak berbagi.

Bisakah sehari saja kita tinggalkan rutinitas ini? Karena, jujur saja, aku jenuh. Manusia diperalat dan sudah menjadi budak. Teknologi malah lebih pintar dibandingkan otak. Ayolah, apa menurut kalian ini juga menyebalkan? Kuharap iya.

Karena aku bermimpi punya satu hari bersama kalian; tanpa gadget, kamera, dan postingan.

Lantas, kita duduk bersama di tanah lapang. Memutar lagu klasik. Berdendang bersama sambil ngemil jajanan pasar. Bercerita tentang kenangan, tentang keluarga, teman, sahabat, cinta.... Apa saja selama jajanan belum tandas di atas piring.

Kapan ya?

Pasti menyenangkan :)

STOP JADI BAPER!!

Paling sebel sama orang baperan. Dikit-dikit inget seseorang, dikit-dikit bahas soal cinta, dikit-dikit minta nikah. Oh please, are you kidding me? Karena jujur aja, ini sama sekali nggak lucu -__-

Orang baperan kelihatan lemah. Terlalu lembek. Tukang khayal nggak jelas. Bikin males diajak ngobrol yang agak sensitif.

Cobalah mengontrol diri. Jangan dikit-dikit kebawa perasaan. Males juga orang-orang ngedengerinnya.

Jatuh cinta sih boleh. Tapi, hargai juga perasaan orang lain. Bosan kali, dengerin si baper ngomongin cinta, cinta dan cinta yang entah kapan datangnya, lagi dimana dan sama siapa. Ngga lucu. Ngga asik. Ngga seru.

Plis. Stop jadi orang baper!

KECUALI TUHAN DAN KESEPIAN....

Maaf. Aku mungkin tidak terlalu peduli denganmu. Ketika kamu menangis, aku diam saja. Tak ada inisiatif bertanya, apalagi berusaha untuk menghibur. Kubiarkan begitu saja sampai bengkak matamu dan kamu kelelahan sendiri. Lalu mungkin, mencari tempat bercerita yang lebih pandai jadi pendengar.

Maaf kalau emosimu tak terbaca. Bahwa marahmu, diammu, sedihmu--semua itu tak menggerakkan hatiku untuk mendekat. Aku hanya diam, pura-pura tak melihat, lalu pergi dengan segera. Entahlah. Aku malas bertanya.

Mungkin karena cara kita yang berbeda.

Ketika kamu sedih, kamu butuh teman bercerita. Mungkin sempat kamu berharap, akulah orangnya. Tapi sayang, aku terlalu cuek untuk bisa peka.

Sebaliknya. Ketika aku yang sedih, marah, ataupun kecewa--aku akan pergi ke suatu tempat, dimana tak ada satupun orang yang akan melihatku. Lalu, aku menangis sepuasnya. Meracau semaunya. Dan belajar berpura-pura bahwa aku baik-baik saja.

Benar ya. Ternyata, cara kita memang berbeda. Kamu butuh diperhatikan, sementara aku berpikir, sendirian adalah cara terbaik melepaskan perasaan. Justru, aku marah jika ada yang ingin ikut campur dan bertanya dengan peduli. Aku tidak ingin diperhatikan. Masalahku bukan untuk dibagi kepada siapapun, kecuali Tuhan dan kesepian.

Kuharap, kita bisa saling mengerti. Tapi bukan berarti, aku lantas menjadi orang yang peduli. Bagiku, kepedulian dalam hal ini berarti, membiarkanmu sendiri dan meresapi perasaanmu, lalu meluapkannya entah dengan cara apa, tanpa dilihat siapapun kecuali Tuhan dan kesepian.

CINTA YANG MEMBARA PASTI AKAN MATI. MAKA, JATUH CINTALAH SEWAJARNYA

Kali ini, aku setuju banget sama tulisan Om Henry Manampiring dalam bukunya Cinta (Tidak Harus) Mati. Kalau ditulis ulang dengan bahasa sendiri, memang nggak akan sebagus tulisan aslinya. Tapi, inti moralnya ngena banget, sampai rasanya pengen kuawetin pake tulisanku sendiri. Hehehe.... (buat yang penasaran, monggo dibaca tulisan dari penulis aslinya).

Yang paling kuingat adalah, bahwa cinta tidak sepantasnya disikapi secara berlebihan. Banyak yang mengatasnamakan cinta, lantas seseorang jadi terlalu melankolis, terlalu romantis. Waktu habis dengan asyik memikirkan, menuntut pertemuan, dan rela melakukan apapun demi si dia. Meluncurlah kata-kata gombal, sikap-sikap dimabuk cinta, dan rasa cemburu yang kadang tidak pada tempatnya.

Padahal, cinta yang terlalu tinggi pada seseorang memiliki efek sama seperti nge-fly (Om Henry menyebutnya "high on drugs"). Tinggi, tapi bersifat sementara. Kalau sudah mencapai klimaks, rasa itu akan menurun dengan sendirinya... terus menurun, lantas menghilang sama sekali.

Yang paling aku suka, ketika Om Henry menyebut bahwa "otak harus kembali ke equilibrium-nya." Banyak yang menyangka, ketika cinta sedang tinggi-tingginya, maka itulah yang dinamakan cinta sejati. Memuja sepenuh hati. Padahal, sesuatu yang memabukkan tak ada yang benar-benar baik.

Karena itu, sering kita dapati pasangan yang jatuh cinta di awal, lantas ujung-ujungnya, putus dengan pertengkaran. Saling menuntut, menganggap diri paling benar, seolah lupa kalau dulu punya ribuan kosakata untuk ngegombal di depan pacar. Lupa dulu sering begadang biar bisa telepon-teleponan. Berkorban waktu, uang, tenaga, pulsa dan kuota. Lantas semua berakhir menyedihkan, hancur sehancur-hancurnya.

See? Lamanya masa pacaran, atau merasa saling cocok saat pacaran, tidak akan bisa jadi jaminan bahwa hal yang sama akan berlanjut setelah pernikahan. Efek jatuh cinta memang luar biasa. Tapi, akan ada masanya semua itu berjumpa dengan titik jenuh. Masalahnya, apakah jenuh itu tetap bisa ditoleransi, atau malah menuntut seorang pengganti? Ckckck....

So, cinta yang benar adalah yang memberi rasa tentram, rasa aman, dan rasa nyaman. Tidak terlalu tinggi, tidak berlebihan, dan jangan terlalu mabuk.

Mencintai secukupnya. Mengagumi sewajarnya. Karena perasaan itu baru disebut normal ketika "ia menjadi ekuilibrium itu sendiri" (saya kutip dari kalimat Henry M).

Jatuh cinta seperti sepasang sahabat. Saling menyayangi dan menerima satu sama lain. Karena cinta yang nyaman adalah cinta yang tak banyak riak gelombang. Tenang saja, damai saja, santai saja. :)