Rabu, 28 Oktober 2015

FOSMA JATENG MUNCAK UNGARAN (24 OKT '15)

Alhamdulillah... thanks for the moment! Seneng banget dapat pengalaman muncak perdana bareng anak-anak Fosma. Feel-nya dapet banget! Jadi nagih pengen muncak lagi :'v

Setelah lumayan lama nunggu hari H, plus sempat nggak bisa tidur malam sebelum hari H (nggak tahu kenapa, setiap kali mau ada acara selalu susah tidur, hahaha...), akhirnya, Sabtu, 24 Oktober 2015 kemarin, kita bisa mendaki puncak Ungaran. Yeeeee...!!

Bersyukur banget karena pas hari itu, yang harusnya ada kuliah Bahasa Belanda hari Jumat sampai jam enam sore, jadinya diliburkan karena dosennya sedang ada acara di luar kota. Wuihh... takdir Allah manis sekali ^-^

Karena keberangkatan dibagi menjadi dua kloter (Jumat jam 15.00 dan 19.00 WIB) dan aku memilih kloter kedua, akhirnya, rombongan kloter kedua otewe pas malam-malam. Perjalanan dari Semarang ke Ungaran memakan waktu kurang lebih satu jam.

Karena udah malam banget, dan nggak mungkin bawa motor sampai Promasan, kami turun dan parkir motor di Pos Mawar (buat yang belum tahu apa itu Promasan dan Pos Mawar, muncak gih ke Ungaran. Hahaha... songong nih baru selesai muncak :v). Ke Promasan-nya jalan kaki, dan itu bakal makan waktu sampai kurang lebih dua jam. Sebelum naik, kami berdoa dulu, semoga perjalanan ini dilancarkan Allah dan nggak ada halangan selama pendakian.

Udara dingin dari gunung Ungaran di malam hari menemani perjalanan kami. Well, kenalin, teman-teman saya di kloter dua pas pendakian ke Ungaran: Mas Bagus, Mas Fais, Mas Fajar, Mas Hali, Mas Fahmi, Rey, Shofi, Tri, Ayu, Eka, dan Sulis. Pas pendakian ke Promasan, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

Dingin dan gelap. Senter yang kami bawa menyediakan penerangan secukupnya. Pas awal-awal, rasanya capek banget. Napas ngos-ngosan, apalagi ngebayangin dua jam perjalanan yang harus kami tempuh. Sebentar-sebentar istirahat, minum, nyari kayu buat dijadiin tongkat, dan asyik bilang "lima menit lagi nyampe" buat penyemangat :D. Tapi lama-kelamaan, rasanya entengan dan asyik aja dibawa jalan.

Sempat nggak nyangka, ternyata medan yang ditempuh berpasir semua. Kirain tanah basah gitu. Baru nyadar kalau musim kemarau udah parah banget, bahkan nyampe daerah pegunungan. Serba salah jadinya: mau pake masker, napasnya sesak; nggak pake masker, debunya kemana-mana. Bal-bul-bal-bul kalau kata Rey :v

Tapi, pemandangan dari atas, sumpah keren banget. Langitnya bersih, bulannya terang, siluet puncak-puncak pegunungannya bagus. Pemandangan kayak gitu baru bisa dinikmati pas kami lagi istirahat. Habis, kalau udah lanjut perjalanan, jadi fokus sama medannya yang kering-berdebu dan kadang berbatu besar itu.

Ini salah satu alasan kenapa aku jadi nagih muncak. Capeknya beda; enak banget. Menantang, serunya minta tambah. Lega pas dari kejauhan, tempat penginapan kami udah mulai kelihatan.
Nyampe di penginapan (rumah biyung, sebut aja begitu--kami memanggil pemilik rumah tersebut dengan panggilan "biyung"), bertemulah kami dengan teman-teman Fosma dari kloter satu yang sudah berkemul di tikar dan dengan enaknya kami bangunin, hihihi....

Udah jam setengah duabelas malam. Kami muncak jam dua dini hari. Jadi, selama dua setengah jam itu, kami manfaatkan waktu buat istirahat.

Dingin banget.... Rasanya ngantuk, tapi nggak bisa tidur :'v Nggak tahu gimana yang lainnya.
Jam dua dini hari, kami bangun. Nyari kamar mandi yang jaraknya lumayan jauh dari rumah biyung; ngambil wudhu, trus sholat tahajjud.

Jongkok di depan pawon-nya biyung sambil berkemul selimut dan nyeduh susu jahe, lumayan juga buat ngusir dingin. Apalagi sambil makan good time, uhuy, nikmat banget dah :v ngobrol bentar dan asyik becanda bareng teman-teman sebelum nantinya packing buat muncak. Sederhana banget buat jadi bahagia. :)

Akhirnya, kami semua packing buat persiapan muncak bareng. Setelah beres, di luar rumah biyung, kami berdoa bersama, semoga perjalanan muncak di Ungaran bisa dilalui dengan lancar. Keberangkatan kami dimulai hampir jam tiga dini hari.

Langitnya bertaburan bintang-- banyak banget. Nggak akan sebanyak itu kalau aku lihat dari langit Semarang. Kerennya masyaallah....

Muncak dengan track yang lebih menantang. Awalnya cuma tanjakan biasa. Tapi, lama-kelamaan, tanjakannya jadi tambah tinggi dan terjal berbatu. Waktu istirahat kami jadi lebih sering dibandingkan ketika naik dari Pos Mawar ke Promasan. Big challenge buat pemula kayak saya :'v tapi seru. Terus jalan sambil sesekali ngobrol.

Tapi, obrolan kami jadi berbelok pas tiba-tiba, beberapa ratus meter di bawah kami, terlihat kobaran api yang entah bersumber dari mana atau dinyalakan siapa. Pikir kami, ada kebakaran. Jadi rada parno mengingat akhir-akhir ini sering terjadi kebakaran di daerah pegunungan. Apalagi di musim kemarau begini. Waktu itu, aku nggak mau terlalu ambil pusing. Kataku, " Itu cuma api unggun." Kami terlalu parno aja, barangkali terpengaruh berita di televisi. Lagipula, toh apinya nggak besar-besar amat. Akhirnya, kami tetap melanjutkan perjalanan dan terus naik ke puncak.


Medannya semakin susah. Tambah tinggi, kadang dihalangi sama batang-batang pohon yang tumbang melintang. Lumayan susah, sempit, dan sama berdebunya.

Semakin ke atas, semakin dekat menuju puncak, dan semakin lelahnya kami, tahu-tahu ada yang nyeletuk, "Eh, itu yang di bawah, ada api, tuh."

Kami noleh lagi ke bawah, dan, benar aja, api yang kami kira udah padam sekian puluh menit yang lalu, ternyata kelihatan lagi. Entah itu di tempat yang sama dengan tadi atau tidak, yang jelas, kali ini lebih mengerikan. Apinya membesar. Suara "kretek-kretek" dari tetumbuhan yang dilalap api terdengar sampai ke atas. Padahal, jarak kami dengan api sudah sekian ratus meter.

Kali ini, aku jadi parno beneran. Itu jelas-jelas kebakaran. Suaranya aja udah bikin merinding. Teman-teman yang mendaki di baris belakang berteriak sebisanya meminta tolong. Aku sendiri waktu itu ada di barisan depan. Ragu antara mau lanjut naik atau enggak. Kami berhenti di tempat. Sempat kepikiran buat balik turun aja, tapi kami lebih dekat ke puncak Ungaran. Kata teman-teman di barisan tengah, "Udah, naik aja, nggak apa-apa, kok."

Mungkin karena aku yang kurang pengalaman, sepanjang sisa perjalanan, aku jadi paranoid  banget. Takut bakal terjadi apa-apa. Mana ini di gunung, masih subuh, siapa yang tahu dan bakalan nolong kalau ada kebakaran? Cuma bisa pasrah dan percaya aja sama kuasa Allah, minta tolong terus dan sempat berharap hujan bakalan turun. Aku nggak bisa senyum lagi :" bahkan pas rombongan di belakang pada bercanda teriak "I love you" :v aku nggak bisa diajak bercanda sama sekali....

Subuh udah hampir habis, bahkan rasanya terlambat untuk bisa menikmati sunrise. Hampir sampai ke puncak, melihat ada tempat datar yang cukup luas, kami tayamum dan sholat subuh berjamaah. Memanjatkan doa dan berharap agar kami diberi selamat. Setelah sholat subuh, melongok ke bawah tempat sumber api tadi, masyaallah... apinya sudah padam! Yuhuuu... leganya bukan maiiinn...!! Alhamdulillah... Allah Maha Baik.... :'D

Kami menuntaskan perjalanan dengan lanjut mendaki. Sampai di atas, bertemu dengan para pendaki lainnya, rasa legaku jadi bertambah. Alhamdulillah... bisa sampai di puncak dengan selamat. :)
Selanjutnya, jangan ditanya. Ini semacam "ritual wajib" anak muda masa kini yang akhirnyaaa bisa pergi muncak: foto-foto duluuuu...!! :v :v









Narsis sepuasnya. Bikin tulisan "titip salam" dari puncak Ungaran buat teman-teman yang pada request. Selfie berjamaah, trus bikin video tujuh budi utama ESQ. Ketawa-ketawa geli, bikin videonya musti diulang-ulang karena banyak becandanya :'v lucu aja.

Beberapa jam di puncak Ungaran dam menikmati pemandangan alamnya, terasa cukup menghibur juga. Sebenarnya sempat berharap bisa melihat gumpalan awan dari puncak sana, tapi ternyata nggak ada. Puncaknya agak kering, dan ketika matahari semakin naik, udaranya jadi bertambah panas.

Well, bagaimana pun, rasanya tetap senang bisa menaklukkan puncak Ungaran (walaupun nggak benar-benar di puncaknya, tapi sedikit di bawahnya). Medan segitu curam bisa ditaklukkan bersama-sama. Naiknya sama teman-teman Fosma pula. Senang sekaliii...!!

Berharap banget ini adalah pengalaman pertama dan masih ada episode lanjutannya. Suatu saat nanti bakalan muncak lagi, lagi, dan lagi. Tanpa insiden mengerikan apapun. Muncak ke gunung dan melihat kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya. Bikin terharu. Masyaallah.... :')

Puas menikmati pemandangan di puncak Ungaran, kami kembali turun. Dan ternyata... turun lebih susah daripada naik, sumpah :'v Tapi nggak kerasa capek-capek amat, sih. Sepanjang jalan, ada aja yang bisa dan minta difoto. Yee narsis juga yah kita, ya Allah....







Eeaaa... akhirnya, bisa foto di kebun teh juga.

Menerapkan angel principle, membersihkan area sekitar pegunungan dari sampah-sampah yang entah kenapa bisa sampai nyempil ke perkebunan teh. Sayang banget. Padahal, kalau Ungaran bebas dari sampah, pasti jadinya jauh lebih indah dan nyaman dikunjungi. Buang sampah memang perkara sepele, tapi kalau dilakukan sembarangan jelas merugikan banyak orang. Hmmh... -__-

Begitu sampai di rumah biyung, kami disuguhi makan siang dan dinikmati bareng-bareng. Sholat bareng, trus packing buat balik ke Semarang.

Makasih banget buat biyung yang sudah berbaik hati mengizinkan kami tinggal di rumah beliau. Semoga suatu saat nanti bisa main ke sana lagi ya, biyung.... aamiin....! ^-^



Ciyee... ketua tiga generasi. Solid! Saluut...! :D

Siang hari selepas dzuhur, kami pulang ke Ungaran sesuai kloter masing-masing. Yang kloter satu otewe langsung pakai motor. Kloter duanya jalan kaki lagi ke pos mawar, naik-turun gunung dan masuk hutan. Jalan bentar, foto. Nemu sungai, foto. Bikin asyik perjalanan aja lah pokoknya, hahaha....











Thanks for the moment, guys! Ini sekadar kenang-kenangan kecil buat kita. Semoga suatu saat nanti bisa muncak bareng lagi, dan makin banyak foto yang bisa dikoleksi. Hahaha... :D

*****

Rabu, 21 Oktober 2015

SEPASANG KYUU

Cerita kita persis sepasang Kyuu.

Kamu tahu sepasang Kyuu itu apa?

Kita bertemu sekarang. Sesuai janjiku, aku akan bercerita tentang Kyuu yang sudah lama kamu tanya-tanyakan.

Apa itu Kyuu? Hehe… jangan kecewa kalau kukatakan bahwa itu hanyalah tokoh cerita dalam imajinasiku. Kyuu memiliki bentuk seperti ikan. Warna mereka cantik sekali; tak hanya satu warna, ada lebih dari tujuh dan menjadi gradasi yang indah di tubuh mereka. Ukuran Kyuu kecil sekali; bentuknya mirip kecebong, tapi, dibandingkan kecebong, ukuran mereka tiga kali lipat lebih besar.

Sepasang Kyuu menghuni sebuah akuarium yang sangaaaaat besar. Mereka suka sekali dengan “rumah” besar itu. Ada banyak rumput hias, batu-batuan bulat, karang, dan pasir putih di dasar akuarium. Airnya jernih bukan main. Sang pemilik akuarium senang merawat mereka. Sepasang Kyuu jadi betah sekali tinggal di dalamnya.

Mereka bersahabat sejak kecil. Sudah bertahun-tahun lamanya sejak sepasang Kyuu dibeli dari toko ikan, keduanya hidup bersama. Satu Kyuu dipanggil pemilik akuarium dengan nama Kyuu Merah, karena warna merah mendominasi tubuhnya. Satunya lagi yang lebih mungil bernama Kyuu Putih – tentu karena gradasi warna tubuhnya lebih banyak bergaris putih. Keduanya nyaman dengan persahabatan mereka, hampir tak bisa dipisahkan walau hanya ujung dengan ujung akuarium. Selalu bersama.

Kyuu Putih senang menggoda Kyuu Merah. Dia lebih banyak bertingkah dan memancing Kyuu Merah berenang mengejarnya; kemudian, Kyuu Putih akan berenang menjauh, bersembunyi, ditemukan Kyuu Merah, dan mereka tertawa bersama. Kalau tidak diganggu begitu, Kyuu Merah lebih banyak diam dan mengamati sahabatnya yang lincah bermain-main. Begitulah. Mereka berbeda, tapi saling mengagumi satu sama lain.

Suatu hari, datang sahabat sang pemilik akuarium. Dia heran, mengapa kolam sebesar itu tak dihuni makhluk sebijipun. Sang pemilik akuarium tertawa dan mengajak sahabatnya mendekat ke kaca akuarium. Dibalik rumput hias, ada sepasang binatang mungil berwarna-warni yang asyik berputar-putar. Dia menjadi takjub bukan main dan bertanya, apa itu. Pemilik akuarium menjawab, “Kyuu. Sahabat setia sejak kecil.”

“Aku mau satu!” sahabatnya berseru antusias, “Boleh?”

Sang pemilik akuarium terdiam. Sepasang Kyuu mendengar pembicaraan mereka dan berenang surut ke belakang, bersembunyi dibalik karang.

“Bisa kamu berikan satu untukku?” sahabatnya meminta lagi. Sang pemilik akuarium tampak keberatan, tapi akhirnya, dia tersenyum dan mengangguk juga, “Baiklah.”

Sepasang Kyuu merapat ketakutan dibalik karang ketika tangan si pemilik akuarium diulurkan masuk ke dalam air, mencari mereka di sela-sela bebatuan. Jemari itu masuk ke lubang karang, dan sepasang Kyuu berenang menjauh, keluar dari persembunyian mereka, tapi, hap! Sebuah jaring memerangkap Kyuu Merah dan mengangkatnya naik ke permukaan. Kyuu Putih berusaha mengejar, tapi terlambat. Kyuu Merah berteriak meminta tolong, tapi tak ada yang mengerti arti teriakannya selain Kyuu Putih. Sekejab saja, sahabat Kyuu Putih itu sudah masuk ke dalam kantong plastik berisi sedikit air. Sahabat pemilik akuarium mengikat simpul bagian mulut plastik dan menyisakan pengap di ruang sempit Kyuu Merah. Dia tertawa senang dan menepuk bahu sahabatnya penuh terima kasih, lalu pulang membawa Kyuu Merahnya dengan sangat riang.

Sepasang Kyuu berteriak saling memanggil. Tapi tak ada yang mengerti arti teriakan mereka….

Bagaimana perasaanmu? Apa menurutmu cerita ini menarik? Memang tidak ada apa-apanya, hanya sebuah cerita sederhana yang tokohnya bahkan tak pernah ada di dunia. Entah bagaimana caramu membayangkan bentuk Kyuu itu. Apa yang tergambar di benakmu seperti ikan koi warna-warni? Atau, seperti kecebong kecil yang anehnya punya banyak gradasi warna? Di benakku, Kyuu tergambar dengan sangat cantik. Kalau masih bingung, biar nanti aku gambarkan seperti apa Kyuu-ku itu.

Kyuu Merah dibawa tinggal di rumah sahabat pemilik akuarium. Sekarang, masing-masing mereka punya satu Kyuu. Tapi, baik Kyuu Merah atau Kyuu Putih, keduanya tak punya siapapun lagi.

Kyuu Putih kesepian. Satu hari berlalu, Kyuu Merah yang dinantinya tak juga kembali. Dua hari… tiga hari… empat… lima…. Berhari-hari sampai bermiggu-minggu lamanya tak ada yang kembali. Kyuu Putih berenang-renang dengan gelisah, tapi pemilik akuarium melihatnya sebagai ikan yang lincah. Makhluk kecil yang tak paham apa itu kehilangan. Kyuu Putih berenang-renang mengitari karang, menyelisip di sela-sela rumput hias, menempel dari satu batu ke batu yang lain, dan menenggelamkan diri ke dalam balutan pasir putih. Itu juga yang dilakukannya ketika Kyuu Merah ada di situ. Tapi kali ini, dia melakukannya seorang diri.

Sendiri…. Kesepian….

Berbeda dengan Kyuu Merah. Di akuarium barunya yang hanya seukuran mangkuk, Kyuu Merah diam seperti telah mati. Sahabat pemilik akuarium heran mengapa Kyuu miliknya jadi setenang itu. Tak mau berenang, tak mau bergerak. Hampir tak pernah makan. Dikira sudah mati, Kyuu Merah disentuhnya dengan ujung jari. Kyuu melompat di dalam air, menghindar dengan marah. Sahabat pemilik akuarium tertawa karena terlalu paranoid, tapi setelah itu, Kyuu Merah benar-benar tak mau bergerak lagi.

….

Menurutmu, apa yang akan terjadi pada mereka? Bisa kamu tebak? Coba hubungkan dengan cerita kita selama ini. Memang tidak sepenuhnya sama, tapi kupikir, ini mirip sekali.

Nah, sekarang, ada tokoh baru bernama Kyuu Biru. Kyuu satu ini cantik sekali. Sahabat pemilik akuarium mendapatkannya dari sahabatnya yang lain, yang kebetulan sama-sama memelihara Kyuu. Kyuu Biru ditempatkannya dalam satu wadah bersama Kyuu Merah, sambil mengatakan, “Nah, kamu dapat teman sekarang. Jangan diam terus. Kyuu Biru akan jadi teman yang baik untukmu.”

Bertemu dengan Kyuu Merah, Kyuu Biru tersenyum dan menyapa, “Hai, aku Kyuu Biru.”

Kyuu Merah hanya menyahut sekilas, “Aku Kyuu Merah.”

“Senang bertemu denganmu. Kuharap, kita berdua bisa menjadi teman baik dari sekarang,” kata Kyuu Biru antusias.

Tapi, mereka tak pernah bisa menjadi sahabat sejati. Kyuu Merah tidak suka dengan Kyuu Biru. Dia sok cantik, sok manis, sok imut….

Eh, jangan berpikir aku menganalogikan ini dengan seseorang, ya. Ini hanya dongeng, oke?

Kyuu Merah ingin bertemu dengan Kyuu Putih. Tak ada bedanya dia kesepian atau ditemani Kyuu Biru. Dua keadaan itu sama menyebalkannya.

Melihat tak ada yang berubah, sahabat pemilik akuarium jadi bosan sendiri. Kyuu Biru sudah cukup lincah dan menyenangkan untuk dilihat, apa gunanya memelihara makhluk kecil yang tak mau makan, tak mau bergerak, bahkan terlihat seperti sudah hampir mati? Nyaris saja Kyuu Merah dilemparkannya ke luar jendela, tapi, suara si pemilik akuarium menahan ulahnya.

Dia terkejut, tahu-tahu sahabatnya ada di rumahnya. lebih terkejut lagi, si pemilik akuarium itu membawa serta Kyuu Putih miliknya di dalam sebuah kantong plastik.

“Jangan dibuang. Masukkan ke sini. Mereka bersahabat sejak lama, pasti tidak menyenangkan harus berpisah selama ini.”

Sahabatnya meringis geli, berpikir bahwa si pemilik akuarium terlalu berlebihan. Tapi, dimasukkannya juga Kyuu Merah ke dalam kantong plastik itu.

Terdengar Kyuu Putih memanggil-manggil namanya. Kyuu Merah nyaris saja mati, dan demi mendengar suara yang lama ditunggunya itu, Kyuu Merah kembali bergerak dalam air. Kyuu Putih mendekatkan kepalanya ke kepala Kyuu Merah; menempelkan ekor mungilnya ke ekor sahabatnya. Kyuu Merah terkejut dan senang bukan main melihat sahabatnya kembali. Dia berenang dengan lincah di kantong kecil itu. Kyuu Putih tak kalah lincahnya. Keduanya berpelukan dengan cara mereka – saling menempelkan kepala dan ekor, lalu berenang berputar-putar tanpa terlepas.

Kedua orang itu terkaget-kaget sendiri dengan tingkah peliharaan mereka. Si pemilik akuarium lekas berbalik pulang dan melepaskan Sepasang Kyuu berenang di “rumah” mereka. Akuarium yang sama. Sahabat yang sama. Kegembiraan yang sama. Dan, beginilah cara sepasang Kyuu melepaskan kegembiraan mereka.
(Aku menggambar dengan spidol di selembar kertas)



Menurutmu, Sepasang Kyuu mirip dengan apa?

Kalau kamu senyum, berarti kamu tahu. Tebak, apa, coba?

(Kamu meraih kertas dan mengambil beberapa spidol, lalu menggambar sesuatu di kertas itu. Katamu, “Iya, aku tahu. Mirip dengan ini.”)



(Giliran aku yang tersenyum.)
*****

Minggu, 11 Oktober 2015

The Thing Called "LIFE"

Senin, 12 Oktober 2015

Tiga hari lagi, usia Ibu genap limapuluh tahun. Aku kayak baru sadar, kalau hidup ini cepat sekali berjalan.

Kemarin, pas ikut jadi ATS di UNS, obrolan di mobil selama perjalanan banyak didominasi soal pernikahan. Ada, lah yang pengen cepet-cepet nikah, cepet wisuda, cepet kerja... punya cita-cita ini dan itu. Dan, hh... lagi-lagi aku seperti baru tersadar. Kita begitu cepat menjadi dewasa.

Ada kabar duka. Kakak yang kami sayangi, saudara yang kami kasihi, yang pernah menjadi bagian dari cerita indah di kota rantau, sudah terlebih dahulu dipanggil Allah. Aku nggak pernah seterkejut itu sebelumnya mendengar berita kematian. Sempat berharap ada keajaiban, tapi, sudah terlambat. Berusaha untuk nggak nangis, tapi susah buat ditahan. Keinget sama senyumnya, caranya menyapa, caranya bercerita.... Kangen. Satu lagi bukti kalau hidup ini begitu singkat.

Banyak pelajaran yang aku dapat selama dua hari kemarin. Bahwa ternyata, hidup hanya punya tiga fase: pertemuan, cinta, dan perpisahan. Kadang, aku jadi takut. Pertemuan dengan orang-orang yang kusayangi selalu membuat bahagia, tapi suatu saat nanti, mau-nggak mau pasti ada akhirnya. Bertemu dan berpisah. Berpisah dan entah kapan bisa kembali dipertemukan.

Bagaimana pun, aku berharap kalian bahagia. Aku berharap kalian tersenyum; tegar dalam keadaan sepahit apa pun. Aku mungkin jarang sekali bilang sayang, tapi kalian begitu dekat di hati.

Ya Allah... aku mungkin belum siap dengan segala kemungkinan adanya perpisahan. Tapi, semoga suatu saat nanti kita dipertemukan di surga-Nya. Reunian sama-sama. Tersenyum sama-sama. Terharu dengan keagungan Allah yang menampakkan wujudnya. Teman... itu keindahan paling indah yang semoga bisa kita rasakan. :)

Untuk kakak, sekaligus saudara yang telah meninggalkan kami, kami mencintaimu. Sungguh. Dengan segala keterbatasan--jauhnya jarak dan komunikasi kita dulu--Kakak tetap ada di hati kami. Bahkan hingga saat ini, esok, nanti dan seterusnya. Allah sayang sama Kakak. Semoga Kakak tenang di sana ya....

Aku nggak akan nangis lagi. Aku nggak mau urusan Kakak diperumit karena aku terlalu cengeng. Doaku menyertaimu, Kak. Semoga Kakak bisa tersenyum dan menunggu kami dalam damai. Miss you. Semoga kami bisa khusnul khotimah. Aamiin.

Oktober nanti, banyak kakak yang wisuda. Hh... perpisahan lagi. Banyak. Sekaligus. Bukan satu-satu. Mana sama-sama di kota rantau. Suatu saat nanti, kita kembali ke rumah masing-masing. Makin jauhlah jaraknya. Kangen. Walaupun belum benar-benar diwisuda, tapi udah sedih duluan. Duh, harusnya, kan senang, terharu. Tapi ini malah jadi sedih. :'D

Aku akan mengingat hari-hari kita bersama. Semoga persaudaraan ini nggak pernah putus ya, teman. Wherever you are, I miss you.

So much. :)
*****